Selasa, 04 April 2017

Bahagia Itu Dekat Dengan Kita

Tulisan ini adalah tulisan sederhana yang harapannya dapat membantu kita semua dalam memaknai kehidupan untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan. Manusia yang ada didalam hiruk-pikuk dunia yang ditinggalinya sering merasakan kekosongan terhadap kehidupan yang dijalaninya. Dunia yang modern ini menghadirkan berbagai macam kemajuan bagi umat manusia. Namun, tidak jarang manusia merasakan kehampaan dari segala hal tersebut. Jepang sebagai salah satu Negara maju di dunia dengan salah satu pendapatan perkapita yang juga tertinggi di dunia justru memiliki angka bunuh diri tertinggi di dunia. Padahal ini justru dirasa kurang relevan ketika masyarakat Jepang hidup berkecukupan dan memiliki kemajuan dalam berbagai hal.
            Banyak orang yang bercita-cita menjadi kaya raya dan sukses dalam segala hal. Ketika segala hal tersebut tercapai kebahagiaan belum juga dimilikinya. Bahkan banyak fenomena orang-orang miskin justru lebih bahagia dibandingkan orang-orang kaya. Kenapa hal ini terjadi ? Hal ini dikarenakan manusia hari ini cendrung materialistik. Orientasi hidup manusia hanyalah hal-hal yang bersifat materi, padahal materi hanyalah salah satu jalan untuk mencapai kebahagiaan tersebut. Dengan kata lain kaya dan sukses hanyalah salah satu jalan bagi manusia dalam mencapai kebahagiaan. Sehingga cita-cita manusia yang sejati adalah menjadi orang yang bahagia.
            Ary Ginanjar dalam sebuah videonya menjelaskan manusia perlu modal dalam mencapai kesukesan. Disini penulis akan melakukan reorientasi yang awalnya kesuksesan menjadi kebahagiaan. Ketika berbicara modal manusia sering mengaitkan dengan hal-hal yang bersifat materi misalnya, uang. Memang uang juga dapat dikatakan sebagai modal, namun tidak dapat dikatakan sebagai modal yang memiliki pengaruh besar dalam mencapai tujuannya tersebut. Setidaknya ada 3 modal utama yang membantu manusia mencapai kebahagiaannya. Pertama IQ, modal ini adalah hal yang berkaitan dengan kecerdasan intelegensi manusia yang biasanya diukur dengan indeks prestasi. Dengan kecerdasan intelegensi manusia dapat melakukan modernisasi teknologi, membentuk tatanan kehidupan, membuat sistem hukum dan sebagainya. Kedua EQ, yaitu kecerdasan emosional. Dengan kecerdasan intelegensi mungkin manusia dapat sukses menjadi seorang pengacara hukum. Namun, tanpa adanya kecerdasan emosional, menjadi pengacara hukum manusia tidak lagi mempertimbangkan mana yang perlu dibela atas nama keadilan. Dengan adanya kecerdasan emosional inilah manusia dapat melakukan tindakan yang sekiranya sesuai dengan nurani. Ketiga SQ, yang ketiga inilah hal yang paling utama bagi manusia dalam mencapai kebahagiaan. Dengan adanya IQ dan EQ mungkin sudah dapat melakukan tindakan yang ideal. Namun, ketika dia tidak memiliki kecerdasan spiritual dalam dirinya yang terjadi adalah kehampaan atas segala yang dilakukannya. Tanpa adanya kecerdasan spiritual manusia tidak akan memahami untuk apa dia sukses, untuk apa dia kaya dan untuk apa dia hidup.  Padahal nilai dari segala sesuatu yang ada di dunia ini tergantung pemaknaan kita terhadapnya. Sebagai contoh, air pasti akan lebih berarti dibandingkan uang yang banyak bagi seseorang yang terjebak ditengah gurun pasir. Namun, orang yang tidak mampu memaknai arti hidup dan selalu berorientasi pada materi justru lebih memilih uang dibandingkan air yang lebih bernilai pada kondisinya saat itu.
            Dalam mencari kebahagiaan,terdapat dua jalan, yaitu sulit dan mudah. Sayangnya manusia justru lebih suka mencari jalan yang sulit dibandingkan yang mudah. Sebagaimana apa yang dikatakan Goerge Bernard Shaw, “manusia tidak kuat mencari jalan bahagia atau tidak kuat menyingkir dari jalan sengsara”. Sebagai makhluk yang memiliki nafsu, manusia cendrung tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Misalnya, ketika memiliki sepeda maka ia menginginkan motor, setelah motor ia menginginkan mobil dan seterusnya. Dengan hal seperti ini niscaya kebahagiaan tidak akan pernah tercapai. Hal ini bukan berarti penulis bermaksud membatasi impian pembaca, namun ketika impian tersebut tidak tercapai maka bisa jadi ada rencana lebih besar yang disiapkan oleh Allah kepada kita. Sehingga ketika kegagalan terjadi bukan menjadi sumber ketidakbahagiaan.
Disamping jalan yang sulit, ada jalan yang mudah menuju kebahagiaan, jalan itu ialah agama. Menurut ahli syair, Hutai’ah, bahagia itu adalah taqwa kepada Allah. Namun meskipun mudah tentulah tetap ada rintangannya. Seorang ibu yang mengandung selama 9 bulan dan melahirkan tentu mengalami sakit dan penderitaan. Namun, sakit dan derita tersebut seketika hilang ketika anaknya dilahirkan. Sehingga dapatlah dikatakan sakit, derita dan sengsara juga merupakan salah tangga mencapai kebahagiaan. Dengan bertaqwa berarti kita melakukan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Salah satu perintah Allah adalah selalu bersyukur terhadap nikmat yang diberikannya. Syukur inilah yang menjadi kunci bahagia, bahwasanya bahagia itu dekat dengan kita dan bahagia itu ada dalam diri kita. Rasulullah SAW bersabda, “Jika petang dan pagi seorang manusia telah mendapatkan rasa aman dan sentosa dari gangguan manusia, itulah dia orang yang bahagia”. Sesederhana itulah bahagia, namun sayangnya manusia sering melupakan nikmat yang didapatkannya. Ketika mengalami musibah, tidak jarang manusia langsung berkesimpulan dirinya mengalami kesialan. Hanya dengan sebuah musibah kecil pada suatu hari manusia dapat mengeneralisir harinya tersebut dengan sebuah kata ‘sial’. Sebagai contoh kecil, suatu hari seseorang mengalami bocor ban dalam berkendara, maka dia langsung menyimpulkan bahwa dia mengalami hari yang sial. Dirinya tidak menyadari berapa besar nikmat yang dimilikinya mulai bangun tidur, dia masih diberikan kesempatan merasakan dunia, bernafas, berkendara dan banyak lagi nikmat lainnya. Namun, dia berkesimpulan harinya sial hanya karena mengalami bocor ban pada saat berkendara. Padahal bisa saja ketika tidak terjadi bocor ban justru musibah lebih besar yang akan menimpanya. Allah berfirman, “Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa saja kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah : 216).

Selalu ada hikmah yang terkandung dalam setiap kejadian yang kita alami. Bersyukur terhadap segala kejadian tersebutlah yang menjadi sebuah kunci kebahagiaan bagi manusia. Tanpa rasa syukur kepada nikmat Allah manusia tidak akan pernah mencapai kepuasaan dalam dirinya. Rasa puas ini bisa didapatkan ketika manusia mampu memaknai setiap kejadian yang dialaminya dengan kecerdasan spiritual yang didapatkan melalui iman yang diimplementasikan dengan taqwa. Setelah mampu memaknai setiap kejadian maka kita akan selalu bersyukur kepada Allah dan ketika kita bersyukur insya Allah bahagia itu akan dekat dengan kita, dalam diri kita.
Oleh: IMMawan Muammar Rafsanjani 

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar anda. Bebas, tapi dilarang yang mengandung SARA.
Fastabiqul Khoirot