IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM - UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Kamis, 03 Maret 2016

ATMOSFER KITA

Rosmania Robochatun 15 Mei 2015

Terik matahari yang tak mau mengalah memberi sengatan nyeri pada kulit, keringat deras mengalir keluar dari pori-pori kulit di tengah siang ini. Duduk aku di warung makan di pinggir jalan ring road dengan ketidaknyamanan karena panas yang semakin menjadi. Lewat seorang bapak-bapak menuntun sepedanya yang penuh dengan karung-karung terisi rongsokan. Hanya topi yang ia pakai untuk melindungi kepala, sepasang sendal sederhana untuk melindungi kakinya dari panas aspal pun tak ia punyai. Dengan rasa iba yang aku punya membuat aku merasa harus mendekati bapak pekerja keras ini. Alhasil, ia memang mencari nafkah untuk hidup anak dan istrinya dengan mencari rongsokan.


ATMOSFER KITA

Dalam menu kali ini mungkin akan sedikit saya sajikan tentang mahasiswa pergerakan tapi sedikit melakukan gerakan. Fahd Djibran dalam bukunya “Insomnia Amnesia” menyebutkan sejumlah nama pergerakan mapan seperti IRM, PMII, IMM, KAMMI, HMI, GMNI dan masih banyak lagi pergerakan mapan lain. Sejauh yang saya tahu, Muhammadiyah memiliki beberapa pergerakan mapan demi untuk mencapai tujuan terhadap misi dakwahnya. Tak jauh mencari salah satu pergerakan mapan itu dari kita, misalnya saja IMM kita. Tidak banyak juga yang saya tahu tentang sel-sel yang terdapat di dalam ikatan juang kita ini. Yang sedikit saya tahu hanyalah atmosfer dalam setiap partikel-partikel yang berkombinasi di dalamnya. Sebuah ikatan juang ini sebut saja atmosfer kita.
Pada DAD 2013 lalu, saya masih ingat adanya materi tentang sejarah IMM, yang kemudian pembahasan meluas pada musuh-musuh kita yang sebenarnya dalam ikatan juang ini yaitu kebodohan dan kemiskinan. Bentuk implementasi dari ikatan juang kita terhadap menangani masalah kebodohan adalah dengan adanya diskusi-diskusi yang dengan banyak inovasi dan refleksi. Pada kenyataanya juga lah diskusi-diskusi sebagai salah satu cara memerangi kebodohan itu telah terealisasi secara tersurat.
Namun terlepas dari hal itu mahasiswa seperti terlupa akan musuh yang senantiasa terus menggerogoti atmosfer kesejahteraan masyarakat yaitu kemiskinan. Apakah wujud tak lupa nya  kita adalah dengan mengabdikan rasa sosial mahasiswa pergerakan mapan melalui bakti– bakti sosial yang hanya diadakan setiap tiga atau empat kali dalam satu tahun? Atau malah kurang dari itu frekuensi wujud bakti kita pada masyarakat? Mungkin kita yang masih bergelar mahasiswa ini masih lupa apa dan harus bagaimana membawa pulang kembali kesejahteraan masyarakat ke dalam ruang-ruang yang nyata dan bisa diraba dampaknya. Mahasiswa masih tertalu banyak mendominasi ruang-ruang diskusi yang terefleksi di ruang-ruang nyata namun sama sekali tidak habitus.
Mahasiswa pergerakan yang masih merasa nyaman.  Masih merasa nyaman dan tak merasakan akan ada bahaya yang hampir-hampir menerjang. Itulah kita dalam posisi yang semakin membuat terlena pada arus sungai apatis yang deras alirannya. Seandainya saja mahasiswa hidup dalam ketertindasan, tidak akan ada lagi mahasiswa yang hanya pandai berdebat dan  berwacana tanpa memiliki bentuk karya yang jelas dan bermanfaat (misalnya tulisan, menyumbangkan waktu dan tenaganya dan lain-lain).  Posisi nyaman ini yang seharusnya bisa membuat mahasiswa nyaman dalam bergerak memerangi kebodohan dan kemiskinan, malah justru menjadi angin yang sepoi-sepoi seperti sedang mengantarkan kita tertidur dengan nyenyak dan bermimpi indah berjalan ditepi pantai yang landai.
Musuh utama kita kian lama kian berdendang dan bersenandung riang tanpa adanya perlawanan dari kita yang mana menyandang mahasiswa pergerakan yang hanya selesai pada bangku diskusi dan perdebatan kritis mengenai persoalan yang dianggap lebih penting. Dan memunculkan sebuah pertanyaan. Pernahkah kita benar-benar memikirkan mereka yang membusung dan lapar? Dan merelakan darah juang kita menetes ke tanah air tempat kita berbakti? Apakah itu hanya sebatas syair nyanyian semata? Musuh yang tengah menjelma semakin parah pun nampaknya tak cukup menjadi cambuk bagi kita. Lalu cambuk seperti apa yang kiranya serangkai dengan niat perjuangan kita?
Mungkin ketertekanan bisa menjadi cambuk bagi kita dalam berjuang melawan kemiskinan dan kebodohan sebagai musuh kita. Atau bahkan bisa sebagai bahan bakar mengobarkan semangat juang agar darah juang tak hanya sekedar nyanyian pengantar tidur panjang. Sekali lagi, ketertekanan. Iya ketertekanan. Mungkin tekanan yang ada bukanlah seperti gejolak di Palestina atau di Yaman. Tapi analisis awam sudah mendapatkan nilai dominan. Bahwa ketika hidup dalam ketertindasan itu biasan membuat kita semakin kuat dalam bertekad. Sebut saja pasukan HAMAS melawan Israel, mereka tidak akan ditakuti oleh tentara Israel jika mereka tidak lebih kuat dari tentara Israel. Hipotesisinya adalah kekuatan mereka ada karena adanya dorongan kuat pula melawan mereka yang menindas dengan tekanan-tekanan yang luar biasa.
Tapi kita tak perlu menjadi seperti pasukan HAMAS. Hanya saja mari sama-sama kita pahami, bahwa posisi nyaman kita tak selamanya membawa kita pada keselamatan dan hakikat kebahagiaan atas amanah yang kita punya, tetapi posisi sebagai pergerakan mapan ini bisa jadi bumerang bagi kita karena merasa nyaman sampai tak sadar ada kantung-kantung amanah di atas pundak kita. Tersenyumlah kawan jika sedikit kita mampu  melawan musuh kita seandainya kita dalam ketertekanan pasti kita bisa berbuat lebih dalam perjuangan ini. Tak hanya bersandar pada ruang diskusi yang terlalu matang karena terlalu sering dilakukan. Tak hanya berwacana dan bernyanyi lagu darah juang.tapi lakukan yang paling utama dari improvisasi yang biasa terjadi diantara atmosfer kita.