IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM - UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Kamis, 25 Februari 2016

UNTUK KITA RENUNGKAN WAHAI PEMUDA MUSLIM


Oleh : Bidang Dakwah IMM FAI


Amal Islami bukanlah aktivitas yang cukup dikerjakan di saat kamu memiliki waktu luang semata, dan bisa kamu tinggalkan saat sibuk. Tidak, amal islami terlalu agung dan teramat mulia jika diperlakukan seperti itu. Perkara bergabung kepada agama ini tentu saja jauh lebih serius daripada yang seperti itu. Islam tidak seperti klub ilmiah, klub motor, klub pecinta alam atau klub-klub lainnya yang bisa ditinggalkan kapanpun kamu mau dan ketika membutuhkannya baru kamu kembali. Atau yang cukup dikerjakan hanya ketika kamu belum mendapatkan pekerjaan lalu ketika telat mendapatkan pekerjaan, lantas kamu tinggalkan amal-amal islami itu.

Perkara amal islami sama dengan perkara ‘ubudiyah kepada Allah yang sebenarnya. Oleh karena itu, seorang muslim hanya boleh melepaskan diri dari amal islami seiring dengan perginya dia dari kehidupan ini. Bukankah Allah telah berfirman:
Dan beribadahlah kepada Rabbmu sampai kematian datang kepadamu!” ( Al-Hijr: 11 )

Al-Qur’an tidak mengatakan, “Beribadahlah kepada Rabbmu sampai kamu keluar dari sekolahan, pesantren atau perguruan tinggi atau saat menjadi kamu telah menjadi pegawai atau bos atau sampai kamu menikah dan seterusnya”. Tapi Al-Qur’an berkata: beribadahlah sampai malaikat maut mengambil nyawa ini dari jasad kita. Pertanyaan yang tentu saja harus timbul dalam diri kita masing-masing adalah bagaimanakah keadaan kita hari ini? Banyak kita saksikan hari ini para pemuda muslim yang meninggalkan amal islami dan beralih menuju amal-amal yang sia-sia.

Hari ini kita melihat banyak pemuda muslim yang tersebar dipenjuru dunia dan kita juga dapati ratusan pemuda muslim di satu kota! Meski jumlah mereka banyak, namun jika kita mencoba hitung jumlah pemuda yang aktif, yang bersungguh-sungguh, dan penuh semangat, sehingga pantas kita sebut sebagai aktivis islam, niscaya kita akan mendapati jumlah mereka tidak mencapai ratusan orang. Lalu kemana kerja, usaha, dan sumbangsih ribuan pemuda muslim hari ini? Kemanakah dakwah, hisbah, dan jihad mereka?

Kebanyakan dari kita, para pemuda muslim hari ini hanya mengambil peran sebagai penonton saja, tidak lebih. Kita merasa cukup setelah berislam, setelah itu kita berhenti pada titik ini, tidak ingin meningkatkan, tidak berhasrat untuk meningkatkan ketitik berikutnya, bahkan tidak hanya untuk sekedar menyiapkan diri sehingga kelak kita sanggup melangkah dan memberikan sumbangsih dalam berbagai bidang amal islami. Kita dapati pemuda muslim hari ini merasa cukup dengan hanya menjadi pendengar saja. Merasa cukup dengan menghadiri halaqah, pertemuan mukhtamar, membaca edaran, dan bulletin yang diterbitkan. Setelah itu cukup, atau menjadi seorang yang pasif tanpa sumbangsih.

Problem inilah yang membuat tak tergalinya berbagai potensi daro pemuda. Potensi yang semestinya tampak nyata di semua bidang amal islami: dakwah, hisbah, dan jihad. Yang dikehendaki Islam adalah sebagian besar waktumu, hampir seluruh hartamu, serta seluruh umurmu. Islam menghendaki keseluruhan dari dirimu. Tidaklah kita melihat para sahabat yang telah mengorbankan apapun untuk islam. Coba bandingkan sumbangsih para sahabat terdahulu dengan realitas kita hari ini. Kita banyak dapati orang-orang islam kaya hari ini, namun kita kesulitan untuk mendapati seseorang yang menanggung seluruh atau setengah hartanya untuk dakwah.


Sebuah syair yang amat dalam maknanya:

Di jalan Allah kami tegak berdiri
Mencitakan panji-panji menjulang tinggi
Bukan untuk golongan tertentu, semua amal kami
Bagi din ini, kami menjadi pejuang sejati
Sampai kemuliaan din ini kembali
Atau mengalir tetes-tetes darah kami


“ Sungguh akibat dari pengunduran diri adalah keburukan. Apalagi bagi orang yang telah mengerti kebenaran lalu berpaling darinya. Bagi yang telah merasakan manisnya kebenaran lalu tenggelam dalam kebatilan”.


Jumat, 19 Februari 2016

“Perempuan: subyek atau obyek?”


Oleh: Immawati Bela Fataya Azmi

Sejak dahulu tema perempuan telah banyak dibicarakan. Kesetaraan gender, emansipasi wanita hingga feminisme selalu menjadi topik-topik yang menarik untuk dibahas. Sebenarnya ada perbedaan yang mendasar antara gender, emansipasi dan feminisme, akan tetapi kesemuanya bertolak pada ketidakpuasan perempuan dalam memahami perannya.
Berangkat dari ketidakpuasan itu, bermunculan tokoh-tokoh perempuan yang maju dan menyuarakan hak-hak tentang kesetaraan gender. Di Indonesia sendiri kita mengenal tokoh pahlawan perempuan seperti R. A Kartini, Dewi Sartika dan lain sebagainya. Emansipasi untuk menyuarakan kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan adalah sesuatu yang penting dan untuk beberapa hal memang dibutuhkan, akan tetapi terkadang protes atas kesetaraan gender ini mengalami kebablasan, perempuan yang terlalu asyik untuk menunjukkan dirinya mulai lupa akan kewajiban dan fitrahnya yang utama. Dalam dunia Islam sendiri, kita “digemparkan” oleh pemikiran Fatima Mernissi tentang ayat-ayat missogininya, yaitu bahwa Islam mengekang hak-hak perempuan.
Terlepas dari perjalanan emansipasi perempuan serta pro-kontranya, salah satu hal penting yang dapat diambil kesimpulan, yaitu perempuan selalu menjadi subyek. Perempuan menjadi sosok yang memainkan peran untuk membela dirinya.
Namun, dewasa ini ketika kita dihadapkan pada kata “perempuan” yang kemudian tergambar dalam benak kita adalah sosok cantik, lembut, feminim atau mungkin juga “tukang dandan”. Jarang sekali muncul penggambaran perempuan adalah sosok tangguh, selalu berjalan di depan dan memimpin. Ketika melihat keadaan perempuan di zaman sekarang, peran perempuan tidak lagi sebagai subyek, akan tetapi telah berubah menjadi obyek semata.
Contoh paling nyata, yang seringkali terlepas dari pengamatan kita adalah produk-produk kapitalis yang secara tidak langsung mencekoki otak—terutama kaum hawa—untuk mengikuti pola pemikiran mereka. Mereka menciptakan standar-standar tertentu demi kepentingan ekonomi mereka yang kemudian oleh kita dibenarkan dan diikuti secara tidak sadar. Kecantikan misalnya, ketika dilontarkan pertanyaan “Perempuan cantik itu seperti apa?” jawaban yang muncul adalah sosok perempuan tinggi, berkulit putih serta memiliki rambut panjang dan lurus. Stereotip ini tidak lain muncul karena adanya iklan-iklan yang menggambarkan standar kecantikan seorang perempuan adalah berkulit putih, tinggi dan berambut panjang dan lurus. Dengan stereotip tersebut lantas kaum hawa kemudian akan disibukkan untuk memenuhi standar itu, sehingga tidak ada lagi waktu bagi mereka untuk kembali menjadi subyek dan memainkan peran, tetapi semata-mata menjadi obyek atas kuasa kaum kapitalis.
Parahnya lagi, untuk memenuhi standar kecantikan semu tersebut, perempuan dengan rela harus merasakan sakit terlebih dahulu. Diet atau bahkan operasi plastik rela dilakukan hanya untuk tampil cantik versi media. Pada titik ini, perempuan tidak hanya kehilangan perannya dan menjadi obyek, tetapi secara tidak sadar perempuan telah menjadi korban atas standar-standar yang dibuat demi kepentingan-kepentingan tertentu tersebut.

Melihat perempuan yang dengan sendirinya kehilangan perannya, bukan lagi saatnya kita membahas berlembar-lembar hal mengenai kartini dan teman-temannya, bukan lagi saatnya kita melongo bingung dengan pemikiran Fatima Mernissi, tetapi sudah saatnya bagi kita melihat ke dalam diri kita dan mulai bertanya, sampai kapan kita akan terus menjadi obyek? Kapankah kita bergegas dan kembali menjadi subyek atas segala sesuatu?  



Referensi:
Stefani, Ketty. 2009. Pdf: Kritik Ekofeminisme. Jakarta: UI
Goenawan, Felicia. 2007. Jurnal Ilmiah: Ekonomi Politik Iklan di Indonesia terhadap Konsep Kecantikan. Volume I, Nomor 1.
Aprilia, Dwi Ratna. 2005. Pdf: Iklan dan Budaya Popular: Pembentukan Identitas Ideologis Kecantikan Perempuan oleh Iklan. Volume I, Nomor 2.
www.dakwatuna.com “Hakikat Penghormatan terhadap Wanita” dilihat tanggal 2 Juli 2015 Pkl. 23.02 WIB