IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM - UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Sabtu, 28 Mei 2016

Membangun Integrasi-Interkoneksi Keilmuan Islam

Oleh : Immawan Muamamar Rafsanjani
(Kader IMM FAI UMY)


            Dewasa ini dalam arus globalisasi yang semakin deras dan tidak bisa dibendung semakin banyak hal-hal baru yang sebelumnya tidak pernah kita temui. Dari berbagai hal-hal baru tersebut timbul berbagai permasalahan yang semakin kompleks. Banyak disiplin ilmu tertentu yang mencoba menyelesaikan berbagai permasalahn-permasalahan tersebut. Sejatinya permasalahan tersebut menjadi sebuah tantangan yang harus dicarikan jawabannya. Namun, disiplin-disiplin ilmu tertentu yang kemudian mencoba menjawab berbagai tantangan tersebut terksesan eksklusif dengan dirinya atau bahkan bersikap apiriori dengan disiplin ilmu lainnya. Seakan-akan hanya dengan teori-teorinya lah permasalahan yang dihadapi saat ini dapat terpecahkan. Hal inilah yang kemudian membangun budaya eksklusifitas dalam suatu disiplin ilmu tertentu. Sehingga terjadilah pendikotomian berbagai disiplin ilmu. Idealnya berbagai disiplin ilmu tersebut saling bahu-membahu dalam menjawab berbagai permasalahan yang kita hadapi di era kontemporer ini. Idealnya tidak ada pertentangan antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya. Justru ada integrasi dan interkoneksi antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya. Kalau kita lihat antara Islamic knowledge, Islamic thought, dan Islamic studies para penggemar dan pencinta studi keislaman tidak dapat melihat ketiga hal tersebut secara jelas dan gamblang sehingga menjadi suatu pandangan keagamaan Islam yang utuh.(Amin Abdullah:2008) Sehingga tidak ada kemampuan untuk dapat mempertemukan antara ketiga hal tersebut sehingga menjadi sebuah satu kesatuan yang utuh dan berjalan berbarengan.
            Menurut Ian G. Barbour setidaknya terdapat empat pola hubungan antara agama, ilmu pengetahuan. Yaitu, konflik, antara agama dengan ilmu pengetahuan saling bertentangan. Independensi, antara agama dengan ilmu pengetahuan saling berdiri sendiri. Dialogis, antara agama dengan ilmu pengetahuan saling berkomunikasi. Integrasi, antara agama dengan ilmu pengetahuan saling menyatu dan berkaitan. Dalam hubungan konflik, antara agama dengan ilmu pengetahuan hanya mengakui kebenaran dirinya masing-masing dan menafikan yang lain. Dalam hubungan independensi antara agama dan ilmu pengetahuan saling mengakui kebenaran dari agama atau ilmu pengetahuan, namun tidak terjadi titik temu antara agama dan ilmu pengetahuan tersebut. Dalam hubungan dialogis antara agama dan ilmu pengetahuan memiliki kesamaan yang kemudian dapat didialogkan oleh para agamawan dan ilmuan yang memiliki kemungkinan untuk saling mendukung. Adapun pola hubungan keempat yaitu integrasi, dalam pola hubungan ini terjadi penggabungan antara agama dengan ilmu pengetahuan yang kemudian saling mengisi, terkait dan menguatkan satu sama lain. (Ian Barbour:2002)
Dalam sejarah ilmu pengetahuan Barat, sempat terjadi konflik antara gereja(agama) dengan ilmu pengetahuan. Dimana adanya dogma dari gereja yang menutup nalar berfikir yang kemudian menyebabkan kemunduran ilmu pengetahuan di dunia Barat. Setelah ilmu pengetahuan melepaskan diri dari kungkungan gereja, justru terjadi independensi antara gereja dan ilmu pengetahuan yang kemudian menyebabkan timbulnya sekularisme. Menurut Buya Hamka agama yang tulen tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, sebaliknya ilmu pengetahuan yang tulen tidak akan bertentangan dengan agama.(Buya Hamka:1983) Seharusnya antara agama, ilmu pengetahuan dan budaya membangun sebuah dialog satu sama lain. Sehingga dari ketiga hal ini dapat berjalan berbarengan dan tidak terjadi konflik satu sama lain yang kemudian dapat membangun integrasi dan interkoneksi.
            Dalam konteks Islam, khazanah pemikiran keilmuan dalam Islam telah memberikan dua macam metode analisis yaitu dengan ushul fiqh yang bersumber dari teks-teks Al-Qur’an dan teks-teks Hadist. Kemudian dengan metode falsafah yang menggunakan akal dan sains.(Amin Abdullah:2013) Namun, umat muslim masih cendrung menggunakan salah satu saja dibandingkan memadukan dua metode tersebut dalam mengeksplorasi ayat-ayat Al-Qur’an. Seharunya terjadi integrasi antara pola berfikir dengan menggunakan metode ushul fiqh dan falsafah yang memadukan antara agama dan sains. Dengan adanya perpaduan antara agama dan sains ini maka akan membangun integrasi dan interkoneksi paradigma keilmuan yang dewasa ini terdikotomi dan cendrung eksklusif dari setiap disiplin ilmu. Adapun antara disiplin ilmu yang terkait dengan keagamaan dan disiplin ilmu non-keagamaan, Amin Abdullah menggambarkan hubungan ilmu yang bersifat dialogis dan integratif yaitu, Semipermeable, Intersubjective Testability, dan Creative Imagination.(Amin Abdullah:2013)
Pertama, Semipermeable. Dalam konsep ini antara agama dan ilmu tidaklah dibatasi oleh tembok tebal yang tidak memungkinkan untuk melakukan komunikasi. Secara metaforis menggambarkannya seperti “jaring laba-laba keilmuan”, dimana antar  berbagai disiplin ilmu tersebut saling berhubungan dan berinteraksi secara aktif-dinamis. (Amin Abdullah:2013) Artinya, antara berbagai disiplin ilmu tersebut bersifat integratif-interkonektif yang memungkinkan terjadinya dialog, komunikasi dan diskusi antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya tanpa mengganggu identitas dan eksistensinya masing-masing. Tidak hanya mampu melakukan dialog internal, namun juga mampu melakukan dialog eksternal dengan disiplin-disiplin ilmu lainnya yang kemudian mampu untuk membuka diri terhadap masukan-masukan dan kritik oleh disiplin ilmu yang lain. Karena sejatinya tidak ada pagar pembatas atau dikotomi keilmuan yang ketat. Batas-batas tersebut masih ada dan jelas, namun seperti yang dilukiskan Amin Abdullah seperti “jaring laba-laba keilmuan” tadi. Dalam jaring laba-laba terdapat rongga-rongga kecil yang dapat dilalui oleh angin, sama halnya dengan disiplin ilmu yang mampu dirembesi dan dimasuki oleh disiplin ilmu lain.
Kedua, Intersubjective Testability. Intersubjektif disini adalah mental keilmuan yang mampu dan dapat mendialogkan berbagai disiplin dengan cerdas antara dunia objektif dan dunia subjektif dalam diri seorang ilmuan dalam menghadapi permasalahan yang semakin kompleks pada era kontemporer ini. Baik dalam dunia keagamaan, keilmuan maupun budaya. Intersubjective Testability tidak hanya mengacu pada agama atau suatu disiplin ilmu tertentu. Banyak sekali permasalahan yang kita hadapi saat ini yang terlalu naif apabila hanya diselesaikan dengan suatu disiplin ilmu tertentu saja. Kaloborasi antara berbagai disiplin ilmu serta kritik dan masukan dari satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya serta lina disiplin ilmu sangat diperlukan untuk menyelesaikan kompleksitas kehidupan saat ini. (Amin Abdullah:2013)
Ketiga, Creative Imagination. Meskipun logika berfikir deduktif dan induktif telah dapat menggambarkan secara tepat bagian tertentu dari cara kerja ilmu pengetahuan, namun sayangnya dalam uraian tersebut meninggalkan peran imajinasi kreatif dari ilmuan tersebut dalam kerja ilmu pengetahuan. Logika mampu menguji teori, namun tidak mampu menciptakan teori. Tidak ada resep yang jitu untuk membuat temuan-temuan yang orisinil. (Amin Abdullah:2013) Maka, yang dibutuhkan saat ini adalah keberanian melepaskan sekatan-sekatan dari setiap disiplin ilmu. Dalam ilmu agama misalnya, aqidah, tauhid, hadist, dan sebagainya. Dibutuhkan keberanian untuk  mengaitkan, mendialogkan dari disiplin-disiplin ilmu tersebut dengan disiplin ilmu yang lainnya yang kemudian dapat di elaborasikan dalam menghadapi kompleksitas kehidupan saat ini. Apabila hanya terisolasi dalam disiplin ilmu tersebut saja, maka ilmu-ilmu agama tersebat akan kehilangan relevansinya dengan setiap perkembangan zaman yang semakin pesat saat ini.
Dengan demikian, pada era kontemporer dimana permasalahan yang dihadapkan kepada kita semakin kompleks tersebut dibutuhkan integrasi-interkoneksi disiplin ilmu yang kemudian mampu memecah ekslusifitas (dikotomi) dalam suatu disiplin ilmu tertentu saja. Karena sangat banyak dan terlalu naif apabila kita berpendapat berbagai permasalahan yang kita hadapi saat ini hanya dapat dipecahkan dengan satu disiplin ilmu saja. Maka, penting dari berbagai disiplin ilmu yang ada tersebut kemudian mampu membuka diri dengan disiplin ilmu yang lainnya untuk menerima kritik, saran serta masukan dari disiplin ilmu lainnya. Yang kemudian hal tersebut mampu memperkaya khazanah keilmuan yang ada untuk kemudian berjalan bersama, bahu-membahu untuk memecahkan berbagai permasalahan yang ada. Hal itu tentunya tidak dapat dilakukan begitu saja. Diperlukan dialog, komunikasi dan diskusi lintas disiplin. Tidak hanya disiplin ilmu keagamaan, namun juga disiplin ilmu umum. Peran ilmuan pun juga dibutuhkan disini, karena dibutuhkan ilmuan cerdas yang mampu dan berani untuk mendialogkan berbagai disiplin ilmu yang ada tersebut sehingga mampu membangun integrasi dan interkoneksi keilmuan.

Selasa, 17 Mei 2016

Karakter Pemimpin Islami


(Oleh: Agtusha A. P.)

            Kawan, apa hakekat peran manusia di dunia ini? Pada hakekatya, setiap dari kita adalah khalifah,[1] baik untuk diri kita sendiri maupun untuk orang lain dan lingkungan sekitar. Hal tersebut menujukkan bahwa manusia memiliki berbagai macam tanggung jawab. Tanggung jawab tersebut dilaksanakan pada masa kepemimpinannya, yaitu selama manusia tersebut hidup. Tanggung jawab manusia sebagai khalifah bermacam-macam sesuai perannya di dalam kehidupan pribadi dan kehidupan bermasyarakat. Di mana kepemimpinan kita akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Oleh karena itu, sebagai umat Islam, kita perlu menerapkan kepemimpinan sesuai dengan hukum Allah. Sebagai mana sabda Rasulullah yang artinya, “apabila kamu melihat orang-orang yang menggunakan hukum-hukum yang tidak nyata, maka anggaplah mereka itu orang-orang yang diperingati oleh Allah, supaya jangan jadi pengikut mereka.” (H.R Muslim)
            Nyatanya, dewasa ini banyak kita temui peristiwa yang sangat memilukan tentang pemimpin. Banyak dari petinggi-petinggi menyalahgunakan statusnya sebagai pemimpin. Terjadi korupsi di mana-mana, banyaknya pemimpin yang tidak adil, munculnya peraturan-peraturan yang justru menjauh dari nilai Islam. Sampai yang paling memilukan adalah adanya ‘permainan’ mereka dengan perempuan-perempuan yang bukan mahramnya. Hal ini membuat masyarakat yang berada di bawah kepemimpinan oknum tersebut merasa jera untuk memilih mereka, namun juga masyarakat tidak bisa bertindak lebih. Semua ketimpangan tersebut tak lain timbul karena lemahnya iman mereka. Apabila iman mereka lemah, shalat mereka juga akan terbengkalai, dan apabila mereka memainkan perihal shalat, maka rusak pulalah urusan yang lain. Mereka, yang dikatakan sebagai pemimpin itu, tidak akan bisa menghindari hal yang keji dan mungkar karena sesungguhnya shalat itu mencegah dari hal-hal semacam itu.[2]
        Kepemimpinan yang Islami tidak serta merta terbentuk dari pemimpin yang tingkat keimanannya sangat minim. Kepemimpinan yang baik sesuai hukum Allah terbentuk dari para pemimpin yang memiliki keimanan yang baik pula. Dr. Hisham Yahya Altalib (1991 : 55), mengatakan ada beberapa ciri penting yang menggambarkan kepemimpinan Islam yaitu:
Setia kepada Allah. Pemimpin dan orang yang dipimpin terikat dengan kesetiaan kepada Allah;
- Tujuan Islam secara menyeluruh. Pemimpin melihat tujuan organisasi bukan saja berdasarkan kepentingan kelompok, tetapi juga dalam ruang lingkup kepentingan Islam yang lebih luas;
- Berpegang pada syariat dan akhlak Islam. Pemimpin terikat dengan peraturan Islam, dan boleh menjadi pemimpin selama ia berpegang teguh pada perintah syariah. Dalam mengendalikan urusannya ia harus patuh kepada adab-adab Islam, khususnya ketika berurusan dengan golongan oposisi atau orang-orang yang tak sepaham;
- Pengemban amanat. Pemimpin menerima kekuasaan sebagai amanah dari Allah Swt., yang disertai oleh tanggung jawab yang besar.Al-Quran memerintahkan pemimpin melaksanakan tugasnya untuk Allah dan menunjukkan sikap yang baik kepada pengikut atau bawahannya. Dalam Al-Quran Allah Swt berfirman, “(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. al-Hajj [22]:41).
Kepemimpinan Islam bukanlah kepemimpinan yang tirani dan tanpa koordinasi. Kepemimpinan Islam yaitu dilakukan dengan prinsip musyawarah[3], dilaksanakan dengan menegakkan keadilan[4] dan amar ma’ruf nahi munkar[5]. Kepemimpinan Islam sangat dikaitkan erat dengan musyawarah karena di dalam Q.S. Asy-Syura : 37-38 musyawarah sebagai sifat ketiga bagi masyarakat Islam dituturkan sesudah iman dan shalat[6]. Itu berarti musyawarah memiliki kedudukan penting di dalam sebuah kepemimpinan. Sebagai hamba-Nya sekaligus sebagai khalifah di bumi, manusia diperintahkan oleh Allah untuk bersikap adil dalam segala aspek kehidupan, baik terhadap diri dan keluarganya sendiri, maupun kepada orang lain. Bahkan kepada musuh sekalipun setiap mukmin harus dapat berlaku adil. Sedangkan pada kepemimpinan yang amar ma’ruf nahi munkar adalah kepemimpinan yang didalamnya terdapat pemimpin yang betul-betul mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar. Bila tugas tersebut diabaikan atau tidak dilaksanakan, umat Islam bisa menjadi umat yang terburuk dan tidak akan diperhitungkan oleh umat yang lain.
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa kepemimpinan sangat erat kaitannya dengan pemimpin. Pemimpin Islam akan melahirkan pula sebuah kepemimpinan Islam. Sesuai firman Allah dalam Q.S. Al-Maidah : 55, bahwa sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yaitu mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).  Kepemimpinan Islam seperti yang telah saya sebutkan di atas akan teralisasikan apabila pemimpinnya beriman kepada Allah SWT., mendirikan shalat, membayarkan zakat, dan selalu tunduk patuh kepada Allah SWT..




[1] Q.S. Al-Baqarah : 30
[2] Q.S. Al-‘Ankabut : 45
[3]Q.S. Asy-Syura : 37-38
[4] Q.S. An-Nahl : 90
[5] Q.S. Ali-Imran : 110
[6] Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: LPPI, 1999), hlm. 230

Senin, 16 Mei 2016

AR Fachruddin dan Keteladanannya

Oleh : Immawan Hawari (ketua HIMAPAI)

KH Abdurrazzaq Fachruddin lahir di Yogyakarta tanggal 14 Febuari 1916. KH Fachruddin ialah nama ayahnya, seorang penghulu di Pakualaman. Ia memberi nama anaknya ini Abdurrazzaq (AR). Selanjutnya, nama ayahnya, sebagai penghormatan, disebut di belakang namanya. Sehingga namanya lengkap menjadi Abdurrazzaq Fachruddin. Namun, nama ayahnya itu, bukanlah KH Fachruddin, nama seorang pahlawan nasional yang pernah menjadi Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah. Jadi, hanya kesamaan pada nama.
KH AR Fachruddin, yang akrab disapa Pak Ar, ketika masa kecil sekolah di SD Muhammadiyah Bausasran kemudian pindah ke SD Muhammadiyah Prenggan KotaGede. Setelah itu, melanjutkan ke Madrasah Mu'allimin Muhammadiyah hanya beberapa tahun. Karena orangtua kembali ke Bleberan, Kelurahan Banaran, Kecamatan Galur, Kulon Progo. Ia lalu dididik mengaji langsung di kampung oleh ayahnya yang semasa mudanya nyantri di Pondok Tremas, Pacitan. Selain itu, ia dapat melanjutkan sekolah lagi di Madrasah Darul Ulum, Galur sampai tamat. Kemudian ia mengikuti Tabligh School Muhammadiyah.
Berbicara mengenai pak AR, banyak sekali kisah-kisah yang dapat kita jadikan pelajaran dengan baik. Salah satu kisah mengenai beliau adalah, pernah suatu ketika beliau diminta mengisi sebuah kajian dan mendapatkan amplop. Biasanya isi amplop tersebut habis diberikan kepada para karyawan kantor PP Muhammadiyah yang gajinya masih sangat kecil. Kisah ini tentu memberikan bukti ke-zuhud-an sifat yang dimiliki oleh pak AR.
Tidak hanya itu, suatu kali beliau didampingi oleh H. Ahmad Dimyati, seorang tokoh Majelis Tabligh PP Muhammadiyah, menghadiri suatu acara Muhammadiyah di daerah Jawa Tengah. Oleh panitia tempat tidur yang diberikan hanya sebatas kasur di atas lantai tanpa ada ranjang. Ketika pak Dimyati bermaksud mencari panitianya untuk mengadukan masalah ini, pak AR dengan santai mengatakan, “Sudahlah, dengan begini saya malah enak, tidak mungkin jatuh dari tempat tidur”
Dua kisah ini menggambarkan dua sifat mulia yang dimiliki oleh Pak AR selama masa hidup dan baktinya. Dari kisah ini menggambarkan bagaimana pak AR memiliki sifat yang sederhana, peduli dengan manusia yang lain, dan kezuhudan yang dimilikinya. Tentu dari kisah ini semoga dapat kita contoh keteladanan yang diberikan oleh Pak AR.
Dalam memimpin sebuah organiasai, Pak AR  bukan pemimpin yang pemarah dan bersikap kasar. Ia  ramah dan sangat terbuka sehingga mudah bergaul dan bekerjasama. Selain itu,  memandang semua sama dan mudah ditemui siapa pun. Ceramah, pidato, dan pengajiannya menggunakan kata-kata dan kalimat yang mudah  diterima.  Penyampaiannya menyegarkan, menyejukkan, menenteramkan hati.  Ia salah satu pemimpin yang disegani dan dihormati.  Presiden Suharto dan para pejabat berpangkat menghormatinya. Apalagi  masyarakat bawah  mengenalnya dan mencintainya. Prestasi sosial yang tinggi semacam itu membuktikan bahwa ia pemimpin yang berwibawa.