IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM - UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Selasa, 08 November 2016

IMMawati Pejuang Tangguh



Bantul, 9 oktober 2016 sebuah perkumpulan kecil yang dibentuk karena persatuan organisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Fakultas Agama Islam UMY, yang belom lama ini mengadakan rapat kerja yang didalamnya membahas rancangan bagaimana proses jalan kedepan. Kita berjalan bersama bukan hanya untuk melaksanakan program – program kerja yang ada di internal, akan tetapi bagaimana bisa kita membuat perubahan yang mendasar dalam rumah kita sendiri yang tidak lupa juga melihat lingkungan sekitar. 

Deras nya hujan di malam hari tidak menjadi alasan untuk Immawati bergerak. Rintikan air hujan yang tak kunjung reda malam itu memberikan kita pelajaran untuk mensyukuri nikmat Allah yang masih diberikan kepada kita. Malam ini,  kami berkunjung ke rumah salah satu wanita hebat yang merupakan demisioner IMM Komisariat Ekonomi pada tahun itu yang juga sekarang merupakan aktivis atau penggiat muda ini, mempunyai semangat yang luar biasa dan sangat berpengaruh untuk orang disekitar. Saat ini beliau masih menjadi penggiat di PW NA DIY dan berumah tangga di daerah kalipakis, Tirtonirmolo Kasihan Bantul. Wanita yang ramah dan mempunyai jiwa Ibu yang sosialis ini membuat kami terpana dan memotivasi kita untuk menjadi wanita yang tidak hanya biasa, akan tetapi menjadi wanita yang luar biasa. Panggil saya saja “Mbak Diah dek, biar lebih akrab” Katanya. Perbincangan malam itu tidak luput dari curhatan-curhatan wanita pada era globalisasi saat ini, dari personality, organisasi, dan hal lain yang mencakup dalam jati diri immawati. 

Kegiatan malam ini kita adakan tidak hanya sekedar bersilaturrahmi saja, akan tetapi untuk bertukar pikiran meminta pendapat saran dan masukan dari Mbak Diah. Perbincangan yang cuma sekilas, selama tiga jam itu membuat kami semua me-refresh kembali otak dan pikiran. Tidak ada hal yang sia-sia kalo dikerjakan dengan niat lillah. Banyak point yang harus kami ambil dalam perbincangan malam itu. Ada sekitar 10 immawati yang masih bergelut berjuang dalam heningnya malam dan di selingi dengan semilir angin sepoi-sepoi pinggir sawah rumah Mbak Diah. Dalam keadaan kami belom makan, seperti dalam QS Al- Maidah :   yang artinya “ maka nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan?” secuil jadah tempe,teh hangat,onde-onde, aneka makanan pada zaman itu membuat kita bersemangat lagi untuk berbincang. Ah udah lah banyak sekali basa-basi disini. 

Nah, santai aja ya bahsaanya disini? Biar tidak hanya sekedar masuk telinga kanan keluar telinga kiri kami ingin membagikan ilmu yang sudah kami dapatkan waktu itu. Mulai dari mana ya? 

Langsung saja, kita berdiri sekarang ini sudahkah bisa disebut dengan aktivis? Tidak. Kita bahasakan saja kalau kita ini penggiat. Katanya malam hari itu. Jika kita di hadapkan dengan berbagai macam linier kehidupan, yang jikalau sekililing kita masyarakat  luar, berada di zona manakah kita? Ya tentu kita berada di zona luar karena zona luar merupakan zona dimana kita bergerak aktif dalam menghadapi segala tantangan. Bukan malah zona dalam dimana zona kita berada di daerah nyaman. Kata siapa perempuan khususnya Immawati hanya ruang lingkup dapur, kasur, sumur? Bukan kah wanita sekarang yang seharusnya maju terdepan dan tidak berada stagnan mas itu. Inti dari apa yang disampaikan Mbak Diah pada malam itu ialah, gunakan waktu usia mudamu sebaik mungkin, iuti segala aktifitas yang menyangkut dengan apa yang ada pada potensi dirimu dengan mengenali dahulu siapa dirimu sesungguhnya, lalu tunjukka pada dunia bahwa wanita yang seperti apa yg mereka harapkan wahai kaum adam? – red immawati.

Tugu Jogja dan Aleppo



22.00 WIB. Malam sudah semakin larut. Aku dan teman-teman sepergerakan masih menapaki perempatan Tugu Jogja. Pandanganku menyapu sekitar perempatan. Terlihat sebagian toko dan warung kelontong bergegas menutup lapaknya yang semakin sepi pembeli. Namun disisi lain, orang- orang semakin ramai merapat ke angkringan dan Tugu Jogja. “Menikmati suasana malam Jogja ungkap mereka” kalau ditanya.
Memang tak lengkap rasanya jika ke Kota Istimewa ini tidak menikmati suasana malamnya.  Nol Kilometer, Malioboro, Alun-alun Kidul Selatan, Alun-alun Kidul Utara dan Tugu Jogja, adalah suguhan yang menarik bagi para pelancong atau pribumi Jogja sendiri untuk dikunjungi. Tentunya akan terasa lebih eksotis lagi jika dikunjungi pada malam hari. Karena angkringan, warung makan lesehan, musisi jalanan, delman, becak dan keramahan warganya akan menambah susana Jogja lebih kental. Jadi, wajar walaupun sudah larut, namun orang-orang semakin ramai berdatangan, seakan tersihir keelokan panorama malam Kota Istimewa ini.
Inilah alasan kami mengadakan penggalangan dana di perempatan Tugu Jogja.
 “Ibu, bapak, mas, mbak mari kita sama-sama membatu saudara kita yang tengah berjihad di Aleppo, Syiria. Semoga Allah senantiasa membalas kebaikan kita dengan kenikmatan yang berlipat ganda, Aaamiin”  ucapku sembari memegang kotak bertuliskan Save Aleppo, Aleppo is Burning.
Uang receh, ribuan dan puluhan pun terkumpul dalam kotak tersebut, kadang juga disambut dengan pertanyaan dan ekpresi apatis.
“Mbak, Aleppo sih dimana ya?”
“Aleppo? Baru denger”
“Bisa dijelaskan mbak itu bagaimana ya ?”
Disisi lain, ini juga ulah media televisi yang memang sama sekali tidak bergeming atas tindakan biadab ini. Dunia seakan bisu dan sangat menafikkan umat Islam. Seakan-akan virus Islam Phobia sudah memasuki negara yang katanya mayoritas muslim ini.
Tapi, lain halnya jika kejadian seperti ini terjadi pada negara yang mayoritas non muslim. Duniapun  larut dalam kesedihan, dan ketakutan mereka. Pernah kali waktu aku membaca timeline di salah satu sosial media “Jika ada agama selain Islam diperlakukan seperti Islam, maka pastilah sudah tenggelam agama itu. Tapi, inilah Islam yang dijaga langung oleh Allah yang tak akan pernah tenggelam”. Wallahu ‘alam bi showaf”.
Selang beberapa orang yang aku dan temanku temui ternyata banyak juga yang memberi perhatian lebih pada kami, akan simpati mereka pada Aleppo.
“Dari kami segini ya mba” ucap masnya dengan ramah.
“Oh iya mas, ini saja sudah terima kasih banyak mas, semoga senantiasa Allah melimpahkan rezeki yang halal lagi barokah ya mas” jawab ku haru.
“Mbak-mbak haus?”
“Hmm lumayan mas”
“Ini mbak, silahkan diambil air mineralnya” seraya menyodorkan dua botol air mineral dingin kepada aku dan teman ku.
“ Waduh enggak usah repot-repot mas” jawab ku sungkan.
“Enggak apa-aapa mbak, saya ikhlas dan tidak bermaksud aneh-aneh”
“Alhamdulillah terima kasih banyak mas” haru ku memenuhi dada.
“Iya mbak sama-sama, semangat ya mbak”
Semangatku kini rasanya semakin bertambah, aku merupakan bagian dari organisasi pergerakan masa iya mau kalah dengan masnya. Aku berdecap kagum, walaupun dia sepertinya juga kesulitan yang hanya mencari uang dengan berjualan warung kelontong  di pinggir jalan, tapi ia tidak sepakat dengan tindakan apatis seperti yang lainnya.
Lantas, bagi kita khususnya generasi pemuda masa depan. Ayo turut serta berkontribusi tenaga, fikiran, dan waktu untuk agama dan negara ini pada kegiatan-kegiatan yang sepertinya  sesuai dengan passion dan skill yang kita punya. Sehingga kinerja kita menjadi totalitas dan berkualitas.
Bersama Allah di jalan yang benar, dan berlomba-lombalah menuju kebaikan.

leh : Immawati Gustin Juna

Pahlawan Sesungguhnya



Arti pahlawan mempunyai maknanya yang luas, seperti halnya guru dikenal dengan sebutan pahlawan tanpa tanda jasa.  Pun,  seorang pria ataupun wanita yang bekerja membanting tulang demi menghidupi keluarga disebut juga sebagai pahlawan keluarga. Namun, kebanyakan orang mengartikan pahlawan sebagai gelar yang diberikan oleh siapa saja yang mati dalam pertempuran membela negara atau bangsa.
Dengan memperingati hari pahlawan ditiap 10 November dan mengenang pahlawan yang sudah memerdekakan bangsa ini. Agaknya, kita merasa sudah bangga karena telah megingat bagaimana perjuang para pahlawan. Namun, kita lupa dengan teman-teman kita yang masih dalam keadaan miskin, terlatar. Lantas, apakah ini yang disebut merdeka??
Dengan ini, mari kita membenah diri, mulai dari diri sendiri untuk memperjuangkan kemerdekaan dengan cara berperang melawan hawa nafsu. Itulah pahlawan yang sesungguhnya yaitu orang yang bisa berperang dengan hawa nafsunya sediri dan juga wafat ketika memperjuangkan karena membela kebenaran karena Allah.

                                                                                                                        Hamba Allah

Rabu, 01 Juni 2016

KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM


Oleh : Puput 
( KKI-A 2014 )

          
 Sahabat, hidup sudah sepatutnya berada dalam aturan yang mampu memberikan kanyamanan, dan tentunya berada dibawah naungan kepemimpinan.  Kepemimpinan yang layak menjadi benar sebuah kebenaran dan salah sebuah kesalahan hingga mendatangkan keadilan. Dan inilah kriteria kepemimpinan Islam.
            Kepemimpinan Islam berada di tangan-tangan pemimpin yang adil, dan yang menjadi ciri khas utama yakni setiap kebijakan mengambil dasar al-Qur’an dan As-Sunnah. Keberadaan kepemimpinan Islam senantiasa berada pada jihad dan ijtihad, sehingga mampu membawa peradaban bagi ummat dengan penuh kedamaian dan ketentraman.
            Jihad adalah mengerahkan segala upaya dan potensi dalam perjuangan meraih tujuan besar, dan perjuangan itu berada pada jalan-jalan Allah untuk membela agama Allah dari tangan-tangan yang ingin melenyapkannya. Baik dalam bentuk pertumpahan darah atau membangkitkan generasi ummat Islam kepada kejayaan.
            Ijitihad dalam perkara kepemimpinan Islam ialah seseorang yang memegang amanat untuk menjadi pemimpin ummat Islam wajib memiliki kemampuan menjawab berbagai problematika dalam kehidupan, memberikan kepastian hukum terhadap persoalan yang ada, serta memiliki pengetahuan tentang spiritualitas, aspek kejiwaan dan hikmat, dan mampu merumuskan kebijakan dengan keadilan yang berlaku untuk seluruh ummatnya.    
  Pada zaman Rasulullah kepemimipinan islam berada pada tingkatan kriteria pemimpin yang memiliki kepribadian di tingkat keimanan yang kokoh, aqidah yang kuat, moral yang terhormat, budi pekerti yang luhur, jiwa yang suci, perjuangan yang tak henti, kesempurnaan dalam keadilan dan kemanusiaan.
  Sahabat, sosok pemimpin yang memiliki kriteria pada zaman Rasulullah sudah menjadi kebenaran yang langka di dunia saat ini, hanya dari segelintir pemimpin saja. Adapun kebijakan yang sesuai syariat pun sudah menjadi perkara yang sulit untuk di tegakkan. Namun, percayalah akan kehadiran para pahlawan yang senantiasa mengembalikan kejayaan Islam, hingga Islam kembali memenuhi sudut-sudut dunia, hingga kepemimpinan Islam dirasakan kembali.Allahu Akbar.
            

Sabtu, 28 Mei 2016

Membangun Integrasi-Interkoneksi Keilmuan Islam

Oleh : Immawan Muamamar Rafsanjani
(Kader IMM FAI UMY)


            Dewasa ini dalam arus globalisasi yang semakin deras dan tidak bisa dibendung semakin banyak hal-hal baru yang sebelumnya tidak pernah kita temui. Dari berbagai hal-hal baru tersebut timbul berbagai permasalahan yang semakin kompleks. Banyak disiplin ilmu tertentu yang mencoba menyelesaikan berbagai permasalahn-permasalahan tersebut. Sejatinya permasalahan tersebut menjadi sebuah tantangan yang harus dicarikan jawabannya. Namun, disiplin-disiplin ilmu tertentu yang kemudian mencoba menjawab berbagai tantangan tersebut terksesan eksklusif dengan dirinya atau bahkan bersikap apiriori dengan disiplin ilmu lainnya. Seakan-akan hanya dengan teori-teorinya lah permasalahan yang dihadapi saat ini dapat terpecahkan. Hal inilah yang kemudian membangun budaya eksklusifitas dalam suatu disiplin ilmu tertentu. Sehingga terjadilah pendikotomian berbagai disiplin ilmu. Idealnya berbagai disiplin ilmu tersebut saling bahu-membahu dalam menjawab berbagai permasalahan yang kita hadapi di era kontemporer ini. Idealnya tidak ada pertentangan antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya. Justru ada integrasi dan interkoneksi antara disiplin ilmu yang satu dengan yang lainnya. Kalau kita lihat antara Islamic knowledge, Islamic thought, dan Islamic studies para penggemar dan pencinta studi keislaman tidak dapat melihat ketiga hal tersebut secara jelas dan gamblang sehingga menjadi suatu pandangan keagamaan Islam yang utuh.(Amin Abdullah:2008) Sehingga tidak ada kemampuan untuk dapat mempertemukan antara ketiga hal tersebut sehingga menjadi sebuah satu kesatuan yang utuh dan berjalan berbarengan.
            Menurut Ian G. Barbour setidaknya terdapat empat pola hubungan antara agama, ilmu pengetahuan. Yaitu, konflik, antara agama dengan ilmu pengetahuan saling bertentangan. Independensi, antara agama dengan ilmu pengetahuan saling berdiri sendiri. Dialogis, antara agama dengan ilmu pengetahuan saling berkomunikasi. Integrasi, antara agama dengan ilmu pengetahuan saling menyatu dan berkaitan. Dalam hubungan konflik, antara agama dengan ilmu pengetahuan hanya mengakui kebenaran dirinya masing-masing dan menafikan yang lain. Dalam hubungan independensi antara agama dan ilmu pengetahuan saling mengakui kebenaran dari agama atau ilmu pengetahuan, namun tidak terjadi titik temu antara agama dan ilmu pengetahuan tersebut. Dalam hubungan dialogis antara agama dan ilmu pengetahuan memiliki kesamaan yang kemudian dapat didialogkan oleh para agamawan dan ilmuan yang memiliki kemungkinan untuk saling mendukung. Adapun pola hubungan keempat yaitu integrasi, dalam pola hubungan ini terjadi penggabungan antara agama dengan ilmu pengetahuan yang kemudian saling mengisi, terkait dan menguatkan satu sama lain. (Ian Barbour:2002)
Dalam sejarah ilmu pengetahuan Barat, sempat terjadi konflik antara gereja(agama) dengan ilmu pengetahuan. Dimana adanya dogma dari gereja yang menutup nalar berfikir yang kemudian menyebabkan kemunduran ilmu pengetahuan di dunia Barat. Setelah ilmu pengetahuan melepaskan diri dari kungkungan gereja, justru terjadi independensi antara gereja dan ilmu pengetahuan yang kemudian menyebabkan timbulnya sekularisme. Menurut Buya Hamka agama yang tulen tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, sebaliknya ilmu pengetahuan yang tulen tidak akan bertentangan dengan agama.(Buya Hamka:1983) Seharusnya antara agama, ilmu pengetahuan dan budaya membangun sebuah dialog satu sama lain. Sehingga dari ketiga hal ini dapat berjalan berbarengan dan tidak terjadi konflik satu sama lain yang kemudian dapat membangun integrasi dan interkoneksi.
            Dalam konteks Islam, khazanah pemikiran keilmuan dalam Islam telah memberikan dua macam metode analisis yaitu dengan ushul fiqh yang bersumber dari teks-teks Al-Qur’an dan teks-teks Hadist. Kemudian dengan metode falsafah yang menggunakan akal dan sains.(Amin Abdullah:2013) Namun, umat muslim masih cendrung menggunakan salah satu saja dibandingkan memadukan dua metode tersebut dalam mengeksplorasi ayat-ayat Al-Qur’an. Seharunya terjadi integrasi antara pola berfikir dengan menggunakan metode ushul fiqh dan falsafah yang memadukan antara agama dan sains. Dengan adanya perpaduan antara agama dan sains ini maka akan membangun integrasi dan interkoneksi paradigma keilmuan yang dewasa ini terdikotomi dan cendrung eksklusif dari setiap disiplin ilmu. Adapun antara disiplin ilmu yang terkait dengan keagamaan dan disiplin ilmu non-keagamaan, Amin Abdullah menggambarkan hubungan ilmu yang bersifat dialogis dan integratif yaitu, Semipermeable, Intersubjective Testability, dan Creative Imagination.(Amin Abdullah:2013)
Pertama, Semipermeable. Dalam konsep ini antara agama dan ilmu tidaklah dibatasi oleh tembok tebal yang tidak memungkinkan untuk melakukan komunikasi. Secara metaforis menggambarkannya seperti “jaring laba-laba keilmuan”, dimana antar  berbagai disiplin ilmu tersebut saling berhubungan dan berinteraksi secara aktif-dinamis. (Amin Abdullah:2013) Artinya, antara berbagai disiplin ilmu tersebut bersifat integratif-interkonektif yang memungkinkan terjadinya dialog, komunikasi dan diskusi antara satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya tanpa mengganggu identitas dan eksistensinya masing-masing. Tidak hanya mampu melakukan dialog internal, namun juga mampu melakukan dialog eksternal dengan disiplin-disiplin ilmu lainnya yang kemudian mampu untuk membuka diri terhadap masukan-masukan dan kritik oleh disiplin ilmu yang lain. Karena sejatinya tidak ada pagar pembatas atau dikotomi keilmuan yang ketat. Batas-batas tersebut masih ada dan jelas, namun seperti yang dilukiskan Amin Abdullah seperti “jaring laba-laba keilmuan” tadi. Dalam jaring laba-laba terdapat rongga-rongga kecil yang dapat dilalui oleh angin, sama halnya dengan disiplin ilmu yang mampu dirembesi dan dimasuki oleh disiplin ilmu lain.
Kedua, Intersubjective Testability. Intersubjektif disini adalah mental keilmuan yang mampu dan dapat mendialogkan berbagai disiplin dengan cerdas antara dunia objektif dan dunia subjektif dalam diri seorang ilmuan dalam menghadapi permasalahan yang semakin kompleks pada era kontemporer ini. Baik dalam dunia keagamaan, keilmuan maupun budaya. Intersubjective Testability tidak hanya mengacu pada agama atau suatu disiplin ilmu tertentu. Banyak sekali permasalahan yang kita hadapi saat ini yang terlalu naif apabila hanya diselesaikan dengan suatu disiplin ilmu tertentu saja. Kaloborasi antara berbagai disiplin ilmu serta kritik dan masukan dari satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya serta lina disiplin ilmu sangat diperlukan untuk menyelesaikan kompleksitas kehidupan saat ini. (Amin Abdullah:2013)
Ketiga, Creative Imagination. Meskipun logika berfikir deduktif dan induktif telah dapat menggambarkan secara tepat bagian tertentu dari cara kerja ilmu pengetahuan, namun sayangnya dalam uraian tersebut meninggalkan peran imajinasi kreatif dari ilmuan tersebut dalam kerja ilmu pengetahuan. Logika mampu menguji teori, namun tidak mampu menciptakan teori. Tidak ada resep yang jitu untuk membuat temuan-temuan yang orisinil. (Amin Abdullah:2013) Maka, yang dibutuhkan saat ini adalah keberanian melepaskan sekatan-sekatan dari setiap disiplin ilmu. Dalam ilmu agama misalnya, aqidah, tauhid, hadist, dan sebagainya. Dibutuhkan keberanian untuk  mengaitkan, mendialogkan dari disiplin-disiplin ilmu tersebut dengan disiplin ilmu yang lainnya yang kemudian dapat di elaborasikan dalam menghadapi kompleksitas kehidupan saat ini. Apabila hanya terisolasi dalam disiplin ilmu tersebut saja, maka ilmu-ilmu agama tersebat akan kehilangan relevansinya dengan setiap perkembangan zaman yang semakin pesat saat ini.
Dengan demikian, pada era kontemporer dimana permasalahan yang dihadapkan kepada kita semakin kompleks tersebut dibutuhkan integrasi-interkoneksi disiplin ilmu yang kemudian mampu memecah ekslusifitas (dikotomi) dalam suatu disiplin ilmu tertentu saja. Karena sangat banyak dan terlalu naif apabila kita berpendapat berbagai permasalahan yang kita hadapi saat ini hanya dapat dipecahkan dengan satu disiplin ilmu saja. Maka, penting dari berbagai disiplin ilmu yang ada tersebut kemudian mampu membuka diri dengan disiplin ilmu yang lainnya untuk menerima kritik, saran serta masukan dari disiplin ilmu lainnya. Yang kemudian hal tersebut mampu memperkaya khazanah keilmuan yang ada untuk kemudian berjalan bersama, bahu-membahu untuk memecahkan berbagai permasalahan yang ada. Hal itu tentunya tidak dapat dilakukan begitu saja. Diperlukan dialog, komunikasi dan diskusi lintas disiplin. Tidak hanya disiplin ilmu keagamaan, namun juga disiplin ilmu umum. Peran ilmuan pun juga dibutuhkan disini, karena dibutuhkan ilmuan cerdas yang mampu dan berani untuk mendialogkan berbagai disiplin ilmu yang ada tersebut sehingga mampu membangun integrasi dan interkoneksi keilmuan.

Selasa, 17 Mei 2016

Karakter Pemimpin Islami


(Oleh: Agtusha A. P.)

            Kawan, apa hakekat peran manusia di dunia ini? Pada hakekatya, setiap dari kita adalah khalifah,[1] baik untuk diri kita sendiri maupun untuk orang lain dan lingkungan sekitar. Hal tersebut menujukkan bahwa manusia memiliki berbagai macam tanggung jawab. Tanggung jawab tersebut dilaksanakan pada masa kepemimpinannya, yaitu selama manusia tersebut hidup. Tanggung jawab manusia sebagai khalifah bermacam-macam sesuai perannya di dalam kehidupan pribadi dan kehidupan bermasyarakat. Di mana kepemimpinan kita akan dimintai pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Oleh karena itu, sebagai umat Islam, kita perlu menerapkan kepemimpinan sesuai dengan hukum Allah. Sebagai mana sabda Rasulullah yang artinya, “apabila kamu melihat orang-orang yang menggunakan hukum-hukum yang tidak nyata, maka anggaplah mereka itu orang-orang yang diperingati oleh Allah, supaya jangan jadi pengikut mereka.” (H.R Muslim)
            Nyatanya, dewasa ini banyak kita temui peristiwa yang sangat memilukan tentang pemimpin. Banyak dari petinggi-petinggi menyalahgunakan statusnya sebagai pemimpin. Terjadi korupsi di mana-mana, banyaknya pemimpin yang tidak adil, munculnya peraturan-peraturan yang justru menjauh dari nilai Islam. Sampai yang paling memilukan adalah adanya ‘permainan’ mereka dengan perempuan-perempuan yang bukan mahramnya. Hal ini membuat masyarakat yang berada di bawah kepemimpinan oknum tersebut merasa jera untuk memilih mereka, namun juga masyarakat tidak bisa bertindak lebih. Semua ketimpangan tersebut tak lain timbul karena lemahnya iman mereka. Apabila iman mereka lemah, shalat mereka juga akan terbengkalai, dan apabila mereka memainkan perihal shalat, maka rusak pulalah urusan yang lain. Mereka, yang dikatakan sebagai pemimpin itu, tidak akan bisa menghindari hal yang keji dan mungkar karena sesungguhnya shalat itu mencegah dari hal-hal semacam itu.[2]
        Kepemimpinan yang Islami tidak serta merta terbentuk dari pemimpin yang tingkat keimanannya sangat minim. Kepemimpinan yang baik sesuai hukum Allah terbentuk dari para pemimpin yang memiliki keimanan yang baik pula. Dr. Hisham Yahya Altalib (1991 : 55), mengatakan ada beberapa ciri penting yang menggambarkan kepemimpinan Islam yaitu:
Setia kepada Allah. Pemimpin dan orang yang dipimpin terikat dengan kesetiaan kepada Allah;
- Tujuan Islam secara menyeluruh. Pemimpin melihat tujuan organisasi bukan saja berdasarkan kepentingan kelompok, tetapi juga dalam ruang lingkup kepentingan Islam yang lebih luas;
- Berpegang pada syariat dan akhlak Islam. Pemimpin terikat dengan peraturan Islam, dan boleh menjadi pemimpin selama ia berpegang teguh pada perintah syariah. Dalam mengendalikan urusannya ia harus patuh kepada adab-adab Islam, khususnya ketika berurusan dengan golongan oposisi atau orang-orang yang tak sepaham;
- Pengemban amanat. Pemimpin menerima kekuasaan sebagai amanah dari Allah Swt., yang disertai oleh tanggung jawab yang besar.Al-Quran memerintahkan pemimpin melaksanakan tugasnya untuk Allah dan menunjukkan sikap yang baik kepada pengikut atau bawahannya. Dalam Al-Quran Allah Swt berfirman, “(yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (QS. al-Hajj [22]:41).
Kepemimpinan Islam bukanlah kepemimpinan yang tirani dan tanpa koordinasi. Kepemimpinan Islam yaitu dilakukan dengan prinsip musyawarah[3], dilaksanakan dengan menegakkan keadilan[4] dan amar ma’ruf nahi munkar[5]. Kepemimpinan Islam sangat dikaitkan erat dengan musyawarah karena di dalam Q.S. Asy-Syura : 37-38 musyawarah sebagai sifat ketiga bagi masyarakat Islam dituturkan sesudah iman dan shalat[6]. Itu berarti musyawarah memiliki kedudukan penting di dalam sebuah kepemimpinan. Sebagai hamba-Nya sekaligus sebagai khalifah di bumi, manusia diperintahkan oleh Allah untuk bersikap adil dalam segala aspek kehidupan, baik terhadap diri dan keluarganya sendiri, maupun kepada orang lain. Bahkan kepada musuh sekalipun setiap mukmin harus dapat berlaku adil. Sedangkan pada kepemimpinan yang amar ma’ruf nahi munkar adalah kepemimpinan yang didalamnya terdapat pemimpin yang betul-betul mengemban tugas amar ma’ruf nahi munkar. Bila tugas tersebut diabaikan atau tidak dilaksanakan, umat Islam bisa menjadi umat yang terburuk dan tidak akan diperhitungkan oleh umat yang lain.
Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa kepemimpinan sangat erat kaitannya dengan pemimpin. Pemimpin Islam akan melahirkan pula sebuah kepemimpinan Islam. Sesuai firman Allah dalam Q.S. Al-Maidah : 55, bahwa sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yaitu mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah).  Kepemimpinan Islam seperti yang telah saya sebutkan di atas akan teralisasikan apabila pemimpinnya beriman kepada Allah SWT., mendirikan shalat, membayarkan zakat, dan selalu tunduk patuh kepada Allah SWT..




[1] Q.S. Al-Baqarah : 30
[2] Q.S. Al-‘Ankabut : 45
[3]Q.S. Asy-Syura : 37-38
[4] Q.S. An-Nahl : 90
[5] Q.S. Ali-Imran : 110
[6] Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlaq, (Yogyakarta: LPPI, 1999), hlm. 230