IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM - UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Jumat, 13 November 2015

Quo vadis, demokrasi?






oleh: IMMawan Muammar Rafsanjani


Quo vadis, domine?[1] Pertanyaan ini muncul dari sebuah cerita seorang yang bernama Santo Petrus yang bertemu dengan Yesus ketika melarikan diri dari Roma. Kemudian Santo Petrus ini bertanya kepada Yesus “Quo vadis, Domine?” dan kemudian dijawablah oleh Yesus “Romam vado iterum crufigi”[2]. Setelah berakhir percakapan tersebut maka kembalilah Santo Petrus ke Roma dan kemudian disalib hingga akhirnya dia menjadi martir disana.
***
Dewasa ini di Indonesia ada kelompok-kelompok Islam yang anti-demokrasi atau bisa kita sebut dengan kelompok Islam fundamentalisme. Dengan berorientasi pada negara-negara Arab, kelompok-kelompok Islam fundamentalisme ini menjadikan agama menjadi sebuah preferensi dalam negara. Preferensi disini dalam artian good life menurut rakyatnya. Padahal kalau kita lihat keadaan negara Indonesia disini multi cultur, multi etnic, multi religion dan menjadikan agama sebagai sebuah preferensi dalam negara hanya akan menjadi skandal bagi pluralisme yang ada di Indonesia. Demokrasi disinipun juga bisa menjadi keuntungan bagi muslim dengan suara muslim yang mendominasi Indonesia untuk mewujudkan negara Islam yang diinginkan tanpa mencederai pluralisme yang ada di Indonesia. Kalau kita melihat negara-negara yang ada di Arab, telah terjadi perdebatan yang panjang terkait demokrasi ini, yaitu sekitar 150 tahun lamanya. Dengan alasan demokrasi adalah sebuah sistem yang berasal dari Barat maka mereka mengklaim kafir bagi para penganut paham demokrasi. Adalah sebuah cacat logika bila alasan mereka seperti itu karena banyak teknologi-teknologi yang mereka gunakan juga berasal dari Barat. Padahal keengganan mereka menganut paham demokrasi adalah tidak lain untuk melanggengkan kekuasaan dan membutakan rakyat terhadap penyimpangan-penyimpangan yang mereka lakukan. Dengan sistem demokrasi maka rakyat berhak mendapatkan transparansi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang juga akan kembali kepada rakyat itu sendiri. Maka, dengan cara apapun akan dilakukan demi mempertahankan sistem dinastik yang berbaju khilafah ini bahkan dengan menjadikan dalil-dalil agama sebagai doktrin pembenaran dalam setiap penyimpangan-penyimpangannya.
Kembali dalam konteks keindonesiaan, kalau melihat sejarah lahirnya Islam di Indonesia, Islam merupakan agama paling muda di Indonesia. Dimana sebelumnya Indonesia menganut paham animisme dan dinamisme yang kemudian dimasuki agama Hindu, Budha, Kristen dan Islam yang paling terakhir. Masuknya Islam ke Indonesia tidak dengan cara kekerasan atau dengan kata lain dengan cara damai. Dan agama-agama yang ada di Indonesia hidup dengan damai selama berabad-abad. Adapun secara umum kekerasaan antar agama dalam ekspansi kekuasaan disebabkan kepentingan-kepentingan politik atau ekonomi. Namun dalam penyebaran agama Islam khususnya, dilakukan dengan cara damai tanpa ada kekerasan ataupun paksaan. Hingga saat inipun konflik-konflik antar umat beragama pada umumnya bukanlah disebabkan perbedaan agama, akan tetapi kepentingan-kepentingan yang melatar belakangi terjadinya konflik namun dengan menjadikan agama sebagai payung pembenaran atas konflik tersebut.
Dasar negara yang di rumuskan Soekarno atau yang lebih dikenal dengan “Piagam Jakarta” sempat berlaku selama 57 hari. Sila pertama pada pancasila disebutkan “Ketuhanan, dengan mewajibkan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Dan “Piagam Jakarta” inilah yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun, dengan penuh pertimbangan Muhammad Hatta memprotes hal ini sehingga merubah sila pertama pada Pancasila menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dengan otoritas yang dimiliknya dalam Panitia Sembilan, Muhammad Hatta kembali merumuskan dasar negara tersebut dan hasilnya di proklamasikan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang dikenal dengan UUD 1945. Meskipun akibat perumusan dasar negara ini Muhammad Hatta sempat mendapat kritikan tajam dari kelompok-kelompok Islam tertentu. Sangatlah wajar apabila kita melihat pluralisme di Indonesia dan tentunya Indonesia yang diperjuangkannya selama bertahun-tahun dirusak begitu saja dengan dasar negara yang akan digunakan. Lagipula kalau kita melihat sosok Muhammad Hatta, beliau adalah seorang muslim yang taat. Sangat ganjil apabila sebagai seorang muslim yang taat, Muhammad Hatta membuat kebijakan yang merugikan agamanya sendiri.
Kemudian berbicara demokrasi dalam konteks keindonesiaan, sebagai negara muda yang baru berusia 10 tahun pada saat itu atau pada tahun 1955 tepatnya. Di bawah kabinet Burhanudin Harahap, Indonesia pernah melakukan demokrasi secara ideal. Sebuah pencapaian besar bagi negara yang baru berumur 10 tahun dan sebuah perisitwa besar yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah Nusantara. Pemilu ini memiliki dua agenda yaitu memilih parlemen yang sudah berjalan dengan lancar. Dan yang kedua membentuk Majelis Konstituante yang bertugas menyusun UUD permanen untuk menggantikan UUDS yang awalnya juga berjalan dengan lancar. Namun, setelah 3 tahun melakukan sidang (1956-1959) agenda ini terhambat oleh masalah dasar negara yang akan menjadi acuan yaitu, Pancasila atau Islam. Pertarungan antara dua dasar negara ini berlangsung tanpa adanya kesepakatan dan mendorong lahirnya Dekrit 5 Juli 1959 yang mengembalikan UUDS menjadi UUD 1945 serta membubarkan Majelis Konstituante. Dengan digantikannya dasar negara menjadi UUD 1945, otomatis Pancasilalah yang memenangkan pertarungan antara kedua dasar negara ini. Pada masa Orde Baru, Pancasila sebagai dasar negara sempat dipaksakan kepada seluruh organisasi-organisasi yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah Muhammadiyah yang terakhir (1985) menyepakati Pancasila sebagai dasar negara ini. Sebagai ormas Islam, Muhammadiyah beranggapan tidak ada pertentangan dan tidak hal yang perlu diperdebatkan lagi antara Islam dengan Pancasila sebagai dasar negara.
Sungguh ironis sekali kalau melihat keadaan Indonesia dewasa ini ketika bermunculan kelompok-kelompok Islam fundamentalisme yang anti-demokrasi. Mereka menginginkan khilafah Islamiyah di Indonesia. Minimal menjadikan syari’at sebagai hukum konstitusional di Indonesia. Dengan kata lain menjadikan agama sebagai sebuah preferensi. Padahal hal ini sangat bertentangan dengan visi sejarah Indonesia. Kelompok-kelompok Islam fundamentalisme ini mengutuk bahkan mengklaim kafir orang-orang yang menganut paham atau yang menggunakan sistem demokrasi ini karena dianggap sebagai produk Barat. Seperti yang sudah disebutkan sebelumnya padahal mereka sendiri juga menggunakan produk-produk Barat. Dan ironisnya salah satu jalan yang digunakan untuk mencapai khilafah Islamiyah di Indonesia tersebut juga dengan menggunakan sistem demokrasi ini. Meskipun sampai detik ini demokrasi yang dimimpikan belum sepenuhnya tercapai, bukan berarti kita menyalahkan dan bahkan mengutuk sistem ini. Secara teori, demokrasi merupakan sistem ideal untuk kondisi Indonesia saat ini. Hanya saja belum banyak pemimpin ideal yang bersikap pro-rakyat dan menjalankan sistem ini dengan semestinya. Meskipun begitu, negara-negara Arab yang menjadi orientasi sistem khilafah Islamiyah ini bukan berarti menjadi solusi untuk semua permasalahan yang kita hadapi saat ini. Sistem yang seperti ini justru akan mengesampingkan sikap egaliter dari penguasanya dan menumbuhkan sikap otoriter. Sehingga setiap kebobrokan dalam pemerintahan akan ditutupi sedimikian rupa dengan menjadikan dalil-dalil agama sebagai doktrin pembenaran atas penyelewengan kekuasaannya.
Dalam Islam sendiri tidak ditemukan konsep negara itu seperti apa. Apakah demokrasi atau teokrasi, presidensil atau parlementer, republik atau monarki. Dan mekanisme pengangkatan kepala negara pun tidak ditemukan dalam Al-Qur’an ataupun Sunnah. Dengan kata lain sistem khilafah disini tidak memiliki pijakan sama sekali untuk berdiri dan menjadi acuan dalam sistem kenegaraan yang akan dianut oleh warga negaranya. Akan tetapi, dalam survei Gallup World Poll yang meliputi 1,3 Milliar muslim di dunia, mayoritas lebih menginginkan demokrasi. Demokrasi yang dimaksud bukanlah demokrasi liberal yang diadopsi mentah-mentah dari Barat tetapi demokrasi yang terdapat nilai-nilai Islam didalamnya. Misi Islam sebagai agama rahmatan lil alamin apabila diberlakukan khilafah Islam di Indonesia juga tidak berlaku lagi. Sebagai agama yang memiliki toleransi, tentunya Islam tidak akan memaksakan warga negara lain yang bukan beragama Islam untuk menggunakan syari’at Islam sebagai hukum konstitusional. Adapun pertanyaan yang sering saya dapati adalah “Bagaimana dengan hukum konstitusional yang berada diatas hukum Islam?”. Sebenarnya disini kita perlu memahami Islam secara komprehensif. Kalau kita melihat syari’at yang memerintahkan membunuh hukumannya pancung, mencuri hukumannya potong tangan atau yang lainnya lagi bukankah secara substantif hukum itu untuk mengadili. Dan hukum-hukum konstitusional yang ada di Indonesia secara substantif juga untuk mengadili. Kemudian masalah adil disini juga perlu persamaan persepsi terhadap adil itu sendiri terlebih dahulu seperti apa. Bagaimana ketika suatu hukum itu diberlakukan menurut A adil dan menurut B itu tidak adil ?
Sebelum terjadinya perang Uhud, Nabi beserta sahabat-sahabat Nabi melakukan musyawarah. Musyawarah disini untuk menentukan apakah pasukan Nabi akan bertahan di dalam kota atau di luar kota Madinah. Kemudian suara untuk berperang di luar kota Madinah pun dimenangkan oleh mayoritas muslim yang bermusyawarah. Nabi sendiri adalah seorang yang menginginkan agar bertahan di dalam kota. Dengan demikian suara Nabi agar bertahan di dalam kota dikalahkan oleh mayoritas yang berpendapat agar berperang di luar kota. Alhasil, pasukan Nabi kalah dalam perang tersebut. Dari sejarah perang Uhud tersebut dapat dipahami proses disana lebih utama daripada hasil. Karena proses adalah kewajiban kita dan hasil ada ditangan Allah. Meskipun Nabi di sana sebagai kepala negara tetap tunduk terhadap suara mayoritas rakyatnya walaupun berujung pada kekalahan dan sekalipun Nabi menderita atas kekalahan yang dialaminya tersebut secara fisik. Demokrasi berlaku disini.
Kembali pada pertanyaan Quo vadis, domine? pada bab pertama. Pertanyan tersebut dilontarkan untuk mencari orientasi. Kalau dimasukkan dalam konteks demokrasi, pertanyaan tersebut menjadi Quo vadis, demokrasi? Dengan kata lain apabila konteks cerita Santo Petrus ini dimasukkan ke dalam konteks demokrasi di Indonesia. Janganlah demokrasi melarikan diri dari segalam macam masalah yang menerpanya dengan mengganti demokrasi menjadi sistem lain yang mungkin akan lebih banyak menimbulkan masalah. Dengan masalah-masalah pada demokrasi ini teruslah dilakukan demokratisasi meskipun masih belum tercapai juga negara yang ideal untuk seluruh warga negara Indonesia. Cobalah untuk lebih menghargai “proses” dalam demokratisasi ini meskipun belum juga tercapai demokrasi yang ideal.

Referensi :
Hardiman, F. Budi. 2013. Dalam Moncong Oligarki. Yogyakarta: Kanisius.
Maarif, Ahmad Syafii. 2009. Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Bandung: Mizan Pustaka.
Mogahed, Dalia dan Esposito, John L. 2008. Saatnya Muslim Bicara!. Bandung: Mizan Pustaka.
Abdillah, Masykuri. 2005. Islam Negara dan Civil Society. Jakarta: Paramadina.


[1] Mau kemana, Tuhan ?
[2] Saya kembali ke Roma untuk disalibkan lagi

Rabu, 11 November 2015

My name is red





Oleh : Immawati Rosmania Robichatun

            Manusia sebagai makhluk sosial terkadang tidak bisa memilih pilihannya sendiri, tetapi natural dan dibentuk oleh masyarakat dan lingkungan di mana dia tinggal. Seperti pola tingkah laku, gaya hidup, politik ekonomi, etnis di lingkungan yang menuntut manusia untuk menyesuaikan diri. Tidak ada seorang yang dapat mengingkari peranan yang menentukan dari masyarakat. Dan mau tidak mau kita harus menyinggung masalah intelektual karena intelektualitas ibarat representasi bagi pola tingkah laku, gaya hidup, politik, ekonomi dan masalah lain. Intelektual yang selama ini menggejala di dalam hati para mahasiswa pergerakan seolah hanya candu banalitas. Indikator yang menyebabkan keseolahan itu seyogyanya harus dikupas seperti ini.

            Pandangan tentang intelektual yang mem-banalitas berhembus sepoi-sepoi ketelinga aktivis yang masih seumur jagung. Hal yang ditakutkan adalah ketakutan itu sendiri tentang terpuruknya semangat akibat angin sepoi yang masih segar. Ketakutan yang muncul cukuplah untuk menggambarkan tentang miskinnya pemahaman aktivis muda menganalisis teori kritik intelektual yang mem-banalitas. Miskinnya pemahaman itulah yang harus dibongkar secara kritis juga agar terwujud perubahan intelektual yang emansipatoris dan lebih baik.

            “Semut di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak kelihatan”. Bukan bermaksud menggiring opini ke zona aman dari refleksi kritis yang menggema di hati yang masuk dari kedua telinga. Tetapi harus bisa kita sadari bersama tidak ada cara lain kecuali menyerahkan diri pada ideologi kritis yang menjelma kedalam intektual yang katanya masih mem-banalitas. Tujuannya adalah menghapus stereotype terhadap semua aktivis pergerakan dari pandangan intelektual yang mem-banalitas. Inilah yang seharusnya menjadi inspirasi dari keprihatinan yang bergejolak di alam bawah sadar dan kemudian merealisasikan perubahan meskipun sekecil apapun sebagai pengabdian diri dalam perjuangan yang tengah dijalani. Selain tujuan di atas, hal ini juga dapat berupaya membalikan rumitnya pandangan kritis yang tujuannya mengajak pada perubahan. Refleksi kritis dari dalam maupun dari luar kemudian di seleksi mana kritikan yang matang dan layak diperhitungkan, kemudian bertindak emansipatoris untuk mencari solusi agar intektualitas bisa lebih berkualitas dari sebelumnya.

            Untuk mengadakan hal semacam itu tidaklah semudah mendiskusikannya. Tidak mudah karena berhubungan dengan banyak orang yang mana setiap orang memiliki persepsi dan cara pandang yang berbeda dan cara berinteraksi yang berbeda. Ada kalanya kita menyadari satu hal yang sama-sama tidak sejalan dengan semua kader intern. Dimana hal itu dapat menyamakan persepsi dan interpretasi tentang refleksi kritikan. Sehingga setiap individu bisa memiliki kesadaran solidaritas yang kemudian outputnya adalah keberpihakan terhadap ikatan. Setelah adanya rasa keberpihakan dan kesadaran solidaritas yang kuat dari dalam diri dan hati tiap individu, barulah bangun upaya membalik pandangan tentang intelektual yang mem-banalitas tersebut. Setelah upaya dan usaha tersebut harapannya dalam setiap individu bisa menemukan jati dirinya yang merah.

Rabu, 04 November 2015

Puisi


Mereka Bilang, Mereka Mahasiswa




Oleh : IMMawan Aba Idris Shalatan



Sekarang waktunya bersyair
Berlaga dalam pasir
Dengan nyanyat hidup nyinyir
Dengan asam asin melintang di tabir

Harapan dan kutukan menjadi pilihan
Berjibaku, membuat keadaan
Banyak manusia tak sadar sekalian
Tentang perantara waktu dan kesempatan

Manusia tidak lagi banyak memikirkan masa depan
Banyak, sudah hilang di tengah jalan
Hari kemudian hanya tinggal pasrah
Semua terputus, entahlah

Tapi ada manusia yang bilang dirinya mahasiswa
Perubahan dan harapan masa depan
Akan menjadikan banyak orang berceria, suka cita, tertawa
Untuk sebuah cerita kebesaran

Mereka bilang, mereka mahasiswa
Yang pundaknya terdapat beban sejuta harapan
Pengalaman, pelajaran dan peristiwa
Memampangnya di tiap detik, menit, jam ratapan

Tatap wajah banyak orang di sana
Orang-orang penuh kekeringan asa
Hingga terputus temalinya panjang dan sia-sia
Pula, tak berdaya di tiang petaka

Mungkin ini kutukan bagi kita
Sampai seorang datang membawa cahaya
Entah kapan datangnya
Apakah dia yang bilang dirinya mahasiswa?


Bogor, 12 Agustus 2015