IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM - UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Kamis, 29 Oktober 2015

Ketika Hijab Menjadi Trend Mode






Kewajiban berhijab telah dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya QS.An-Nur:31, yang artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

Kader IMM sebagai Ummat Terbaik ; Telaah surat Ali-Imran ayat 110.




 

Konsep manusia dalam islam sangatlah jelas, dalam islam manusia di tempatkan sebagai abdi Tuhan yang diutus untuk mengurus dan mengelola alam semesta-sebagai ciptaan Tuhan. Manusia di percaya sebagai makhluk merdeka dan mendapat kedudukan yang terhormat. Dalam kitab Al-Quran, manusia di berikan kebebasan untuk mengolah esensi dirinya sendiri, memikirkan kedudukannya dalam system realitas sehingga ia mampu menempati tempat sesuai dengan keberadaan kemanusiaannya
Berbeda dengan konsep manusia yang di utarakan oleh barat pada abad pertengahan yang di dominasi oleh pemikiran Yunani yang kental dengan mitologi. Manusia dipandang sebagai makhluk rendahan, manusia hanya sebuah pengganggu para Dewa, manusia adalah saingan para Dewa sehingga tak jarang Dewa dianggap iri hati dan keberadaan manusia semakin terancam dengan adanya Dewa. Karena di era itu, mereka memercayai banyak Dewa dan para Dewa lah yang memegang dominasi sehingga manusia di bawah belenggu para Dewa.
Seiring berkembangnya waktu, rasa ketidakpuasaan muncul seiring datangnya pemikiran bahwa manusia adalah pusat segalanya sehingga manusia perlahan meninggalkan paham keagamaan seperti itu karena manusia memandang bahwa Dewa-Dewa hanyalah mitos dan Dewa-Dewa tidaklah revolusioner. Manusia dipandang berhak menentukan nasibnya sendiri, menentukan kebenaran atas dirinya dan manusia tidak membutuhkan para Dewa sekaligus kitab-kitab suci.
Paham rasionalitas itulah yang akhirnya melahirkan Renaisens, yaitu suatu gerakan kebangkitan-kembali manusia dari keterpurukan mitologi dan belenggu dogma-dogma. Visi dari gerakan ini adalah mengembalikan lagi kedaulatan manusia yang selama berabad-abad telah dirampas oleh para Dewa dan mitologi yang mengungkung nasibnya. Konsep kehidupan berpusat pada manusia, bukan Tuhan, dan manusia haruslah menguasai alam semesta. Melalui filsafat rasionalisme, gerakan ini telah melahirkan revolusi paham keagamaan bahwa manusia adalah makhluk merdeka. Namun gerakan Renaisens ini di ciderai oleh budaya modern, yang dimana manusia tidak lagi menjadi sebuah pusat, namun manusia hanya menjadi elemen terkecil dari teknologi. Manusia dalam masyarakat modern tak lebih hanya sebagai unsur terkecil dalam sistem yang besar.
Dalam filsafat yunani dan romawi, di gambarkan bahwa manusia tidak memiliki kecerdasan. Manusia di pandang sebagai makhluk rendah sehingga di perlukan Dewa untuk menuntun manusia berfikir. Dalam filsafat Kristen manusia juga amat sangat di pandang rendah, manusia sejatinya adalah makhluk pendosa. Fithrah manusia adalah busuk sejak lahir, sehingga membutuhkan Sang Penebus Dosa. Maka dalam filsafat Kristen, Tuhan lah yang menebus dosa mereka sehingga mereka terbebas dari kungkungan dosa. Kedua konsep ini jelas lah merupakan paham yang tidak futuristic dan malah terkesan fatalistic.
Kembali kepada konsep islam tentang manusia. Dalam islam di sebutkan bahwa manusia adalah khalifah Allah, sebagai wakil Tuhan di muka bumi yang berhak mengatur dan mengelola bumi ini. Manusia, dalam sebuah ayat di dalam Al-Qur`an, disebutkan mengadakan perjanjian dengan Allah ketika masih dalam Rahim yaitu berupa pengakuan ke-Illahi-an Allah SWT, sehingga manusia tidak berpaling dari Allah karena manusia adalah abdi Allah. Sebegitu pentingnya posisi manusia dalam islam, manusia adalah tangan kanan dari Allah. Dan ini berbeda dengan paham animisme bahwa manusia adalah bagian alam semesta bahkan lebih rendah dari alam semesta (menyembah alam semesta).
Karena Allah adalah pencipta alam raya dan manusia adalah abdi-Nya, maka manusia di beri kepercayaan apakah ia mampu memelihara alam ciptaannya ini menjadi lebih baik sehingga manusia di tuntut untuk berfikir dan berusaha. Sebagai abdi dari penguasa langit dan bumi, manusia dalam perjanjiannya untuk meminta pertolongan hanya kepada Allah semata ketika ia mengalami kesulitan. Tentu, di balik manusia itu sendiri adalah sebuah “kekuatan” besar.
Dalam surat Ali-Imran ayat 110, Allah berfirman sebagai sebuah seruan kepada khalifahnya di muka bumi, yang berbunyi :
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ......
Artinya :
            “Engkau adalah ummat terbaik yang diturunkan di tengah manusia untuk menegakkan kebaikan, mencegah kemungkaran, dan beriman kepada Allah…”
            Telah jelas di ayat itu kita dalah ummat terbaik yang diutus oleh Allah untuk mengabdi ditengah-tengah manusia. Menurut kuntowijoyo, ayat tersebut mengandung arti Humanisasi, Liberasi dan Transendensi, sebuah cita-cita profetik yang diarahkan untuk rekayasa masyarakat menuju cita-cita sosio-etiknya pada masa depan.
            Tujuan humanisasi adalah memanusiakan manusia, dimana manusia pada era modern ini mengalami dehumanisasi karena ketergantungan manusia pada teknologi sehingga menjadikan sebagai makhluk abstrak tanpa jiwa kemanusiaan. Manusia hanya sebuah unsur kecil dalam sistem yang besar. Tujuan dari liberasi sendiri adalah membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan, kekejaman teknologi, keangkuhan penindas yang harapannya kita peduli dengan kaum mustadlafin, faqir dan miskin. Sedangkan misi transendensi adalah ketika kita telah menyerah dengan budaya hedonisme, meterialisme dan budaya yang merampas ketenangan manusia, kita ingin kembali kedalam fithrah manusia, menikmati suasana tanpa batas ruang-waktu ketika bersentuhan dengan kebesaran Tuhan dan menikmati alam raya ini sebagai ciptaan Tuhan.
            Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang bergerak dalam 3 (tiga) ranah, Keagamaan, Kemahasiswaan dan Kemasyarakatan, dalam kelahirannya disebutkan bahwa factor ekternal di dirikannya IMM adalah sebagai upaya pemurnian aqidah ummat islam umumnya dan mahasiswa islam khususnya, yang saat itu masih kental dengan budaya bid`ah, takhayul dan khurafat yang mengganggu kemurnian ajaran islam. Kepercayaan terhadap benda-benda keramat seperi pohon, keris, cincin, batu, kuburan dll masih mengakar kuat. Kepercayaan terhadap ramalan-ramalan, wejangan dukun dll masih membudaya. Fenomena tersebut adalah imbas dari keterbelakangan dan kebodohan. Parahnya lagi, acaman komunisme yang menyerang ideologi banyak di gandrungi oleh mahasiswa muslim pada jaman itu.
            Sebagai kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), sudah seyogyanya kita sadar bahwa kita adalah ummat terbaik utusan Allah untuk mengelola muka bumi ini. Kita adalah khalifah Allah, kita adalah makhluk terbaik, kita sebagai hamba dengan segala potensi (ruh suci, akal dan iradahnya) yang dititipkan oleh Allah, Untuk memahami itu semua dibutuhkan sebuah kesadaran kolektif. Kesadaran kolektif diharapkan tidak hanya terjadi dalam sebuah level tertentu sehingga pada akhirnya kesadaran kolektif membawa pada kesadaran structural, sehingga apa yang dikerjakan oleh kader IMM bernilai perjuangan dan ibadah.
Billahi fii sabilil haq, fatabiqul khoirot.

 Oleh: Immawan Alief Yoga Dhiyaul Haq (Kader IMM FAI UMY)

Daftar bacaan :
1.      Noor Chozin Agam, 1997, Melacak Sejarah Kelahiran dan Perkembangan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Jakarta. Penerbit Pers PERKASA dan Dikdasmen PP Muhammadiyah
2.      Kuntowijoyo, 2008, Paradigma Islam, intepretasi untuk aksi. Bandung. Penerbit Mizan.
3.      Makhrus Ahmadi dan Aminudin Anwar, 2014, Genealogi Kaum Merah, pemikiran dan gerakan. Yogyakarta. MIM Indigenous School dan Rangkang Education
4.      Rijal Ramdani, 2015, Merumuskan Profil Kader Ikatan ; Menuju Indonesia Berperadaban Islam. Makalah disampaikan pada Darur Arqam Madya PC IMM AR Fachruddin Kota Yogyakarta di Pondok Pemuda Ambarbinangun Yogyakarta,

Selasa, 27 Oktober 2015

Pemuda Smartphone




Apa yang kalian ketahui tentang pemuda zaman perjuangan? Ya, mesti tak sedikit dari kalian yang menjawab: “Pemuda zaman perjuangan ya berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia”. Apakah menurut kalian perjuangan hanya sebatas melawan penjajah asing ? TIDAK! Bung Karno pernah menyebutkan bahwa melawan penjajah dari bangsa lain bahkan lebih mudah, dibandingkan harus melawan musuh yang berasal dari seragam yang sama, darah yang sama. Itulah kita saat ini. Kita sudah tidak berperang melawan penjajah dari bangsa lain, berlari-lari karna dikejar peluru dari negara lain. Tapi saat ini kita berjuang melawan sistem yang dibangun oleh penguasa negeri sendiri, yang berasal dari tanah yang sama, bahasa yang sama, bahkan dengan darah mengalir yang sama.
Ah, tapi sepertinya pemuda saat ini tak kalah hebatnya dengan para pemuda pejuang saat itu. Kurang “hebat” apa lagi, mereka tetap tenang saat saudaranya harus menghisap asap tiap hari karna tak ada lagi oksigen yang dapat mereka hirup. Harus bersusah payah bernapas bahkan di negara yang menjadi paru-paru dunia. Bisakah kau bayangkan ketika negara yang menjadi paru-paru dunia saja susah bernapas, bagaimana dengan negara yang bertumpu pada negara ini? Itu hanya satu kasus yang ditulis dari puluhan kasus yang ada di Indonesia. Dan apa yang dilakukan oleh pemuda-pemuda saat ini? Mereka tetap tenang dengan aktivitasnya sendiri-sendiri. (Bahkan mungkin ketika haknya tak terpenuhi pun mereka tetap bisa hidup dengan tenang). Miris sekali.
Entah diam karna tak tahu apa yang harus dilakukan, atau diam karna mereka terlalu tenang dengan hidup di zona amannya. Ya, kemungkinan besar mereka terlalu nyaman dengan dunianya saat ini. Meskipun bila ditelusuri, permasalahan-permasalahan yang muncul di negara saat ini tak jauh berbeda –bahkan mungkin lebih kompleks – dengan permasalahan yang muncul dan menuntut pemudanya terus berjuang sampai untuk memikirkan kapan dirinya tidur pun tak sempat.
            Bagiku pemuda saat ini dengan pemuda saat itu sama-sama menghadapi permasalahan yang sama rumitnya. Hanya saja saat ini mereka tak berani untuk berteriak (entah tak berani berteriak atau tak paham apa yang perlu diteriaki) sekedar mempertahankan suara hatinya. Berbeda dengan masa pemuda pejuang, yang begitu peka dengan apa yang sedang terjadi di bangsa ini.
Mungkin, yang menjadi alasan karena pemuda saat itu tidak mengenal apa itu Smartphone, sehingga kepekaannya terhadap lingkungan tak terhalang cahaya dari layar-layar lebarnya. Mungkin, kalau pemuda saat itu berjalan dengan perlahan karna melihat situasi yang ada di sekitar jalanan yang mereka lewati, tapi pemuda saat ini berjalan perlahan karna mereka takut menabrak benda dihadapannya. Kau tahu kenapa? Ya, karna pemuda saat ini terlalu sibuk dengan “gerakan menunduknya” seolah mereka menjadi seorang budak bagi ponsel yang dimilikinya. Tak salah, ketika perusahaan menamainya ‘ponsel pintar’, karna bahkan manusia pun bersedia tunduk dengannya berjam-jam, hingga tak tahu apa yang sedang terjadi di sekitarnya.

(Immawati Dwi Putri Suryandini)



Puisi "Pemuda Hari Ini"

Hampir seabad Indonesia merdeka
Namun hingga kini belum jua muncul kata jaya
Siapa salah?
Apa yang salah?

Tak sanggupkah Indonesia bangkit dengan rakyat terbanyaknya?
Belum mampukah Indonesia menggetarkan dunia?
Adakah para pemuda sudah puas dengan warisan ibu bapaknya?
Atau masih hanya bisa bangga memamerkan produk luar yang dipakainya?

Indonesia, bahkan dunia semakin tua
Dan pemuda hari ini semakin menggila dengan hedonisnya
Pada baku hantam karena uang pemberian bapaknya
Lalu, merekakah yang akan memimpin Indonesia?
Saat yang tua, yang selalu dibanggakan telah tiada
Pada siapa Indonesia tautkan nasibnya?

Wahai pemuda
Dimanakah akalmu?
Kau kemanakan hati nuranimu?

Bahkan ketika ada diskusi tentang negara ini kau tetap diam takzim
Kau tetap duduk menunduk menatap layar bercahaya
Kau hanya menatap aneh pada kita yang duduk melingkar
Tak ada satu langkah kakimu kudengar mendekat apalagi merapat

Lalu, bagaimana kau akan tahu keadaan bangsa ini?
Ketika kau masih sibuk dengan gadget barumu?

Kau yang digaungkan sebagai agent of change
Yang kelak menggantikan para pahlawan bangsa
Yang akan tetap mempertahankan kesatuan negeri ini
Ya, kau yang mungkin sedang sibuk dengan dunia mudamu.
Bukan lagi ayahmu, kakekmu, atau dosenmu itu.
Tapi kau yang saat ini sibuk dengan permainanmu
Kau yang mungkin bahkan tak ada rasa kepedulian terhadap Indonesiamu
Akankah mampu menggenggam Indonesia?

Entahlah

(Immawati Dwi Putri Suryandini)

PERAN WANITA MENDUNIA

            Rahmah Yunusiah dilahirkan di Padang Panjang, Sumatra Barat, pada 29 Desember 1900 dan wafat pada 26 Februari 1969. Rahmah berasal dari keluarga terpandang dan religius. Ia merupakan anak bungsu dari empat bersaudara pasangan Syekh Muhammad Yunus dan Rafi'ah. Ayahnya Syekh  Muhammad  Yunus adalah seorang ulama besar di zamannya. Syekh Muhammad Yunus  (1846-1906 M)  menjabat  sebagai  seorang Qadli di negeri Pandai Sikat dan pimpinan Tarekat Naqsabandiyah al-Khalidiyah. Selain  itu Syekh Muhammad Yunus juga ahli ilmu falak dan hisab. Ia pernah menuntut ilmu di tanah suci Mekkah selama 4 tahun. Kakeknya ialah Syeikh Imaduddin, tokoh tarekat Naqsabandiyyah di Minangkabau. Ulama yang masih ada garis keturunan dengan pembaharu Islam yang juga tokoh Paderi, Tuanku Nan Pulang di Rao. Adapun  ibunda  Rahmah  el-Yunusiyah yang  biasa disebut Ummi Rafi’ah,  nenek  moyangnya  berasal  dari negeri Langkat, Bukittinggi Kabupaten Agam dan pindah ke bukit Surungan Padang Panjang pada abad XVIII M yang lalu. Ummi Rafi’ah masih berdarah keturunan ulama, empat tingkat diatasnya masih ada hubungan dengan mamak Haji Miskin, sang pembaharu gerakan Paderi. Ummi  Rafi’ah  yang  bersuku  Sikumbang  adalah anak  keempat  dari  lima  bersaudara. Ia menikah dengan Syekh Muhammad Yunus  saat  berusia  16 tahun, sedangkan  Syekh  Muhammad  Yunus berusia 42 tahun.
Rahmah el-Yunusiyah tidak mendapatkan pendidikan formal yang memadai. Ia hanya sempat menempuh sekolah dasar selama 3 tahun. kemampuan Rahmah dalam baca-tulis Arab dan Latin diperoleh rahmah dari kedua kakaknya, Zaenuddin Labay dan Muhammad Rasyid. Namun, perannya sebagai tokoh pembaharu pendidikan Islam bagi perempuan di Minangkabau terbukti mampu meningkatkan kualitas dan memperbaiki kedudukan perempuan islam di masanya, didasarkan pada kemampuannya menciptakan pendidikan modern menurut modelnya sendiri, yang disesuaikan dengan kebutuhan kaum perempuan saat itu. Kecerdasan Rahmah yang mendorong ia berpikir kritis, tidak lekas puas dan selalu mencari hal-hal baru dalam hidupnya. Rahmah bercita-cita membangun sekolah khusus kaum perempuan. Hal ini dilatarbelakangi dari kesadaran akan adanya ketimpangan sosial dan ketidakadilan yang dialami kaumnya di masa itu. Dia melihat kaumnya jauh tertinggal dari laki-laki, mereka berada dalam kebodohan, ketertinggalan dan kepasrahan pada keadaan. Sehingga, generalisasi masyarakat pada umumnya menganggap bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah dan terbatas. Sedangkan Rahmah memiliki pandangan yang berbeda, baginya perempuan memiliki peran penting dalam kehidupan. Perempuan adalah pendidik anak yang mengendalikan jalur kehidupan mereka selanjutnya.
Nama Rahmah el Yunusiah mungkin saja tidak setenar dengan nama R.A. Kartini, namun di dunia pendidikan Islam nama ini adalah nama yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Pemikiran Rahmah pada saat itu, di era sekarang ini dapat digolongkan sebagai pemikiran yang berkemajuan. Rahmah bangkit membangun Diniyah Putri karena kegelisahannya melihat perlakuan kepada kaum perempuan. Kata-kata Rahmah sederhana namun sangat berarti yaitu perempuan adalah pendidik anak yang mengendalikan jalur kehidupan mereka selanjutnya. Mendidik perempuan sama saja membangun negeri, madrasah pertama bagi seorang anak adalah ibu. Rahmah mendapat gelar Syaikhah dari Universitas Al-Azzhar Cairo dan menjadi inspirasi bagi Syekh Abdurrahman dari University of Cairo untuk membuat sarana pendidikan bagi perempuan di Mesir. Tokoh-tokoh wanita seperti Rahmah el-Yunusiah, R.A.Kartini, Dewi Sartika dan tokoh wanita Indonesia lainnya, merupakan bukti dari peran wanita yang mendunia, tidak hanya di satu Negara namun hampir seluruh dunia mengetahui mereka dan menginspirasi mereka.

Oleh : Immawati Ade Rachma Amalia (IMM FAI)

Kutipan :