Selasa, 03 Desember 2013

FANATIK (GOLONGAN) ATAU MILITANSI ???


            Hidup dalam sebuah gerakan atau ormas dan berjuang bersamanya adalah suatu pilihan ideologi yang akan membentuk cara berpikir kita. Biasanya, setelah kita merasa ‘nyaman’, sepemikiran dengan (ideologi) gerakan tertentu, akan timbul jiwa heroik atau semangat juang untuk berjuang bersama gerakan tersebut. Singkatnya, ada rasa kepemilikan terhadap gerakan. Tetapi, seringkali para aktivis gerakan terjebak dalam kefanatikan. Alih-alih mau menjadi anggota yang militan, malah jatuh ke jurang fanatisme.
            Dari fenomena-fenomena yang ada, fanatisme pun akhirnya menjadi penyakit khas dalam gerakan dan ormas. Dan parahnya, jika kefanatikan itu sangat kuat, bisa jadi menimbulkan kefundamentalan dan keradikalan dalam berfikir dan bertindak. Adapun militansi memang sangat diperlukan ketika kita bergabung dalam sebuah gerakan, ormas ataupun kelompok lainnya. Dan ingat! Bukan fanatisme yang dibutuhkan.
            Memang susah membedakan dua konsep ini (fanatik dan militan). Kalau kita melihat arti katanya di kamus jelas bisa dibedakan. Tapi kalau kita melihat langsung realitanya, sangat sulit. Kita yang adalah para aktivis gerakan pasti juga pernah merasakan hal yang sama, melihat fenomena yang sama terkait fanatik dan militansi yang diibaratkan seperti anak kembar berbeda sifat. Yang satu baik dan satunya lagi buruk. Jadi apa sebenarnya fanatik itu? dan apa militansi itu? mengapa militansi dianjurkan dalam kehidupan gerakan sedangkan fanatik tidak?
            Pada mulanya, kata fanatik digunakan untuk menyebut golongan atau orang-orang yang berpegang teguh pada pendapat-pendapat sebuah mazhab tanpa mau membuka diri terhadap mazhab yang lain. Namun, seiring berkembangnya zaman dan lahirlah organisasi-organisasi masyarakat, partai politik dan aliran-aliran agama, maka sekarang fanatik juga digunakan bagi orang-orang yang bersikap demikian terhadap ormasnya, parpol-nya dan aliran agama-nya. Pada intinya fanatik digunakan untuk semua kelompok/ golongan yang berideologikan apapun.
            Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, fanatik memiliki arti teramat kuat kepercayaan (keyakinan) terhadap ajaran (politik, agama dsb). Dalam buku Tanya Jawab Agama halaman 154 dijelaskan bahwa kepercayaan atau keyakinan yang sangat kuat itu biasanya menimbulkan kepicikan dalam berfikir, sehingga kurang atau kadang-kadang tidak lagi menggunakan akal dan budi dalam mengikuti suatu ajaran agama, politik dsb.
            Fanatik sering juga disebut taklid buta. Artinya, karena keterlaluan dalam meyakini suatu ajaran seseorang itu mengikuti apa saja yang ada dalam ajaran tersebut. Tanpa memilah mana yang benar dan mana yang salah. Atau dalam Islam menyimpang dari Al-Quran dan As-Sunnah. Sedangkan dalam lingkup umum menyimpang dari norma-norma dan nilai dalam tatanan masyarakat. Inilah yang dimaksud dengan orang yang fanatik tidak lagi menggunakan akal budinya untuk berfikir.
            Adapun dalam Kamus Ilmiah Populer militansi artinya adalah jiwa heroisme, semangat heroik/ berjuang yang membaja, semangat berjuang dan ketangguhan berjuang. Dalam media massa kata militansi cenderung digunakan untuk menyebut bentuk perjuangan gerakan-gerakan radikal. Karena mereka beranggapan, militansi adalah bentuk perjuangan fisik dan itu bisa dicontohkan seperti perjuangan (fisik) keras dalam membela agama oleh beberapa kelompok agama. Makna militansi digambarkan begitu ekstrim. Contohnya, dalam buku ‘Membendung militansi Agama’ karya Mun’im A. Sirry dituliskan dalam beberapa kalimat :
            “…. Namun, bila dipikir lebih jernih, momen kebangkitan militansi berkedok agama ini    juga dipicu problem domestik di samping kekacauan global. Konflik berbasis agama yang      tak kunjung berhasil dituntaskan di Ambon punya kontribusi signifikan terhadap         menguatnya    arus radikalisme dan militansi keagamaan.”[1]
            “….Yang ingin ditegaskan adalah, untuk mengukur seberapa besar kekuatan Islam           militant tidak cukup dengan menghitung berapa jumlah pengikut kelompok-kelompok    garis keras, seperti Laskar Jihad, FPI, Hizbut Tahrir, dan sejenisnya. Setiap waktu, bahkan             setiap proses politik yang digulirkan sejumlah elite politik, selalu membuka ruang bagi   berkembangnya militansi baik dalam pola keberagamaan maupun pelembagaan aspirasi            aliran.”[2]
            Betapa militansi diartikan begitu sempit oleh beberapa pihak. Dari kutipan di atas, militansi yang memiliki arti perjuangan diartikan keras. Bahkan disejajarkan dengan radikalisme. Inilah yang menjadi kegamangan penulis, bahwa nantinya jika dilihat dari aksi-aksi gerakan lebih jauh (keekstriman), fanatik golongan dan militansi hampir tidak ada bedanya.
            Lalu bagaimana dengan gerakan-gerakan atau kelompok-kelompok yang bukan termasuk kelompok garis keras menyebut para kadernya yang memiliki jiwa perjuangan yang tinggi jika sebutan militansi saja diartikan begitu sempit dengan keekstriman?
            Menurut analisis penulis, militansi yang berartikan jiwa heroik atau semangat perjuangan yang tinggi itu oleh sebagian pihak memang keliru ditafsirkan menjadi perjuangan yang keras, radikal dan semacamnya. Kemudian dari fenomena-fenomena radikalisme yang terjadi disebarluaskan melalui media massa dan menyebut kelompok radikal tersebut dengan sebutan kelompok militansi agama. Pada akhirnya khalayak beranggapan bahwa makna militansi hanya sebatas itu saja. Padahal, berbeda ideologi kelompok berbeda pula persepsi militansinya. Berbeda visi misi kelompok, berbeda pula ekspresi militansinya.
            Makna militansi harus kita bersihkan, jangan sampai nantinya samar antara fanatik dan militansi akibat ekspresinya yang sebagian besar dianggap berhaluan keras. Ada beberapa ekspresi dari militansi, yaitu:
1.      Berpartisipasi melalui pikiran, tenaga, keahlian, harta untuk tercapainya tujuan kelompok.
2.      Aktif di dalam kelompok atau gerakan tersebut.
3.      Memperbaiki apa-apa yang keliru yang ada dalam gerakan atau kelompok tersebut.
4.      Pembelaan terhadap kelompok/ gerakan jika mengajak kepada kebaikan.
            Bentuk ekspresi militansi tersebut sekaligus mengatakan bahwa militansi jelas berbeda dengan fanatik. Adapun ekspresi yang ketiga adalah ekspresi yang jangan sampai terlupakan. Karena itu termasuk bentuk peduli kita terhadap gerakan/ kelompok dan itulah bentuk perjuangan kita memperbaiki dari dalam diri gerakan. Sehingga nantinya tidak menjadi fanatik, semua diikuti tanpa memilah mana yang baik dan yang buruk.

Immawati Ilmiyanti- 2011


[1] Membendung Militansi Agama. 2003. Hlm. 40
[2] Membendung Militansi Agama. 2003. Hlm. 41-42

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih sudah berkunjung, silakan tinggalkan komentar anda. Bebas, tapi dilarang yang mengandung SARA.
Fastabiqul Khoirot