IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM - UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Kamis, 31 Oktober 2013

Ketika gejolak kemahasiswaan menuntut lahirnya pejuang



Api itu di depanku
Api di ujung sumbu lilin.
Api itu berpendar,
Dan tak akan mati sebelum saatnya.
Sampai malam ini habis.
Tak ada keheningan

DILEMATIK DAKWAHTAINMENT: Alternatif Hiburan VS Edukasi Religi


DILEMATIK DAKWAHTAINMENT:
Alternatif Hiburan VS Edukasi Religi

“Serulah (manusia) pada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat petunjuk.”
(QS. An-Nahl [16]: 125)

I
slam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin sepatutnya menjadikan umatnya tergerak agar menjadi individu rahmatan lil ‘alamin. Umat yang selalu ‘stand by’ pada pergerakan zaman yang terus menantang pada kemajuan global, dan tentu menjadi garda terdepan saat potensi dan gejala-gejala nilai keislaman tergerus oleh perkembangan yang memerangi keluhuran ajaran Islam.
Dengan asumsi bahwa masyarakat Indonesia telah mencapai ranah Masyarakat Informasi, hal ini menjadikan media digadang-gadang sebagai komoditas lahan strategis untuk perluasan sektor dakwah. Keluwesan masyarakat terhadap media informasi merupakan mangsa yang empuk untuk dijadikan objek dakwah melalui media. Produsen mediapun tak kalah cerdik untuk mengimbangi potensi yang ada. Sehingga situasi yang sinkron menemui titik terang dalam mengakomodir program-program bertajuk religi. Dengan kata lain, potensi dakwah memerlukan saluran untuk melancarkannya, dan media begitu welcome menjadi wadah penyalurannya.
Memang, dengan kondisi seperti saat ini sangat memudahkan untuk segala aktivitas, termasuk perluasan teritorial dakwah, hingga nilai-nilai Islam diharapkan membumi dan merekat dalam kehidupan keseharian. Namun kita jangan terkecoh dengan semua situasi tersebut, kita lihat begitu banyak problematika yang menyeret esensi dakwah yang tercemar karena kapitalisasi dan politisasi media. Ini terjadi karena media sebagai wadah strategis justru lebih mementingkan eksistensinya agar digandrungi oleh pemirsa. Rating menjadi simbol andalan prestasi sebuah media, tanpa melihat sarat akan nilai-nilai yang tersampaikan kepada audiens.
Kita tarik televisi yang menjadi media untuk objek kajian, spesifikasinya terletak pada program religi. Sudah sangat terlihat jelas oleh kita bahwa substansi dakwah hilang karena tujuan-tujuannya tergeser oleh hiburan yang di dalamnya terlalu mendominasi konten program sesungguhnya. Da’I yang digandrungi dan menjadi trading topic adalah yang memiliki kemampuan melawak, bahkan seringkali yang nampak bukan citra diri sebagai penyampai dakwah justru melebihkan porsinya sebagai pelawak sejuta fans. Belum lagi gimmick atau jargon mereka (da’I dan da’iah) untuk menarik perhatian terkesan lebay dan dramatis.
Di segmen lainnya, program religi menyediakan hadiah jutaan rupiah untuk pemirsa di studio maupun di rumah, ini terkesan mengimingi-imingi materi agar tidak kehilangan partisipasi pemirsa. Maka timbul pertanyaan yang mengarah pada transformasi niat pemirsa, “apa niat pemirsa yang sesungguhnya? Benar untuk mengaji atau sekedar mengharap hadiah?”.
Khusus di bulan Ramadhan dan Idul Fitri iklan-iklan di televisi banyak bertebaran nuansa keislaman, menghangatkan suasana. Namun yang kita lihat bahwa Islam di dalam iklan seolah hanya berupa simbol-simbol tertentu, seperti jilbab, peci, buka puasa, masjid, beduk, warna putih, dan lain-lain. Selain itu isi iklan yang disampaikan terkadang terbilang terlalu menyederhanakan sebuah perkara yang kerap terjadi dalam diri orang yang berpuasa, misalnya menahan amarah selama menjalankan puasa dapat dikategorikan sebagai sukses dalam kesabaran jika setelahnya minum teh atau minuman, begitulah nilai ajaran Islam dalam iklan. Semuanya cenderung menampilkan nilai-nilai yang praktis dan nampak bias. Itulah nilai-nilai Islam yang menjadi korban konversi media. 
Masih banyak kasus yang membalut nilai Islam yang dipaksakan dalam media-media tertentu. Kita perlu mengetahui bahwa tujuan antara media seperti televisi dengan dakwah yang sesungguhnya sangatlah berbeda. Televisi cenderung untuk hiburan, sementara dakwah yang mengarah pada sifatnya yang sakral. Keduanya sulit untuk saling membalut agar tujuan esensi dakwah untuk benar tersampaikan pada pemirsa.
Kita tidak bisa memungkiri, bahwa kita terbentur pada minat pemirsa yang sulit untuk memiliki kesadaran mempelajari ajaran Islam itu tanpa embel-embel  hiburan yang kurang berkualitas. Mulailah cerdas saat memilih tayangan di televisi maupun media lainnya. Kritislah pada makna yang disampaikan hingga sebuah hikmah tertangkap dan menjadi rujukan keteladanan yang harus diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Maka terciptalah sebuah idealitas akan kebutuhan masyarakat terhadap media dakwah; menyampaikan secara arif dalam konteks sosial dan agama.

--Dini Fitrah Eristanti--