IKATAN MAHASISWA MUHAMMADIYAH

FAKULTAS AGAMA ISLAM - UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

Minggu, 09 April 2017

Aku Hijrah karena Dia atau dia ?



Memang sih ya !, kalo kita-kita ni membahas soal hijrah dikurun waktu sekarang ini menjadi bahasan yang menarik. Iye kagak ?... betul tong, karena banyak tu para akhwat yang sekarang mulai berhijrah “pakaianya”. Eh maksud mu apa !, berhijrah kog pakaiannya ?.
Yaelah, jadi gini. Dalam pengertian bahasa, hijrah artinya pindah. Sedangkan dalam makna, hijrah adalah pindah untuk menghindari perbuatan, aktivitas, dan kegiatan yang merugikan menuju alternative kagiatan, perbuatan yang bermanfaat bagi etos keTuhanan dan kemanusiaan. Iya ga sih, betul ga sih…. Iya betul in saja.
            Nah, agak mulai dong (paham) kan apa yang ane maksud ?. Nabi kita ni yang mulia Muhammad SAW pun berulang kali melakukan hijrah, mulai dari Mekkah ke Madinah(Yastrib) dan kebanyak kota dan daerah lainnya. Hitung sendiri berapa kali, ane lupa. Maap kan ya !,
Sampai-sampai hijrah beliau yang ke Madinah diabadikan sebagai tahun pertama hijriah. “iyalah, dilihat dari penamaannya saja sebelas-duabelas kan. Hijrah ama hijriah”.
            Bukan hanya itu tong, dalam beberapa kitab hadist. Urutan awal dalam kodifikasi hadis didalamnya memuat posisi niat (ini sebagai dimensi makna eksistensial) dalam hjrah. Ada yang tau bunyi hadisnya ???...
Iya itu, yang biasa kita hafal cuma spotong tu dari hadis. “Innamal a’malu biniyah”. Iya kan, udah ngaku aja, ane juga baru hafal sepotong itu juga. Padahal ni ya, ada makna esensial dari sambungan hadis tersebut. Gaya mu tong-tong, pake makna esensial segala. Hee,,, biar kelihatan keren gitu keilmuan ane.
            Apa sih lanjutan dari potongn hadis itu ?. langsung artinya saja ya. Ane kagak apal juga arabnya, hemmm… yaudah lah !. jadi kurang lebih seperti ini artinya “Barang siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada (keridhoan) Allah dan Rasul-Nya. dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang diinginkannya atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya akan dinilai sesuai apa yang diniatkannya”. Tambah jelas kan tong dengan maksud ane ?,,,
            Iya sih, tapi kaitannya dengan hijrah pakainan tadi apa ? lha lu masih kagak paham-paham juga tong, bener-bener kamu ini tong-tong.
Gini lo tong, harusnya para akhwat yang berhijrah itu bukan hanya secara simbolik pakaian saja. Melainkan juga berhijrah secara makna, seperti yang ane sebutkan diatas tadi.
Sehingga dalam melaksanakan praktik keagamaan nya tidak terkesan sepotong-sepotong, kalo sering dikata ustadz yang ceramah itu gini “agama Islam itu bukan prasmanan. Yang enak diambil, yang tidak enak di tingalkan” kaya warung padang pojok itu, yang nasi sama ayam sepuluh ribu, tambah es teh jadi duabelas ribu. Disana juga ada tempe bacem sama balado telur mata sapi. Eh tong ngapain ente malah bahas masakan rumah makan padang pojok,,, iya sih disana murah memang... lha-lha kog malah masakan padang sih ! kembali lagi itu bahas prasmanan agama. Uppst...
            Jadi gitu tong !, apa nya yang gitu ? ente belum jelasin apa-apa kog udah main gitu-gitu aja.
Eh iya ding, maap-maap tong. Begini tong, ane coba kasih contoh kecil saja. Tidak bermaksud nyingung tong hanya contoh, tapi kalo kesinggung dan sadar sih Aalhamdulillah. Heee...
            Misalkan ni, si akhwat. Sudah berhijab besar, tidak terlihat aurat nya. Itu jilbabnya tong sampai bisa nyapu in jalan, Masyaa Allah sekali ya tong, tapi dia masih doyan dengan pacaran.
Mungkin mereka berpacaran syar’i ? hadddeh tong-tong, mana ada pacaran syar’i
Ada ! biasanya mereka kalo malam saling meningatkan shalat tahajud, saling ingatkan baca qur’an. Soalnya pernah lihat chat temen ane, “umi, malam jum’at nich. Baca al Khafi bareng2 yuk”. Biar kelihatan islami pangilan sayang nya sampai abi-umi, padahal mereka belum nikah.
Yaelah tong-tong, sambil nepok jidat. Sejak kapan ada pacaran syar’i !, itu ga sekalian aja nge-date dibawah bedug masjid. Saling gandeng tangan menuju masjid... hadddeeehhh !!! yah sama saja tong, mereka melakukan kebaikan tapi dengan cara kemungkaran.
Jadi gimana ni, hijrah yang baik ?
Ya gitu tadi, kembali kan makna dari hijrah itu sendiri dengan niatan yang bener-bener mantep karena Allah semata. Tanpa ada unsur lain didalamnya, kalo masih ada unsur lain. Riya’ itu berarti, karena riya’ itu bukan semata-mata melakukan sesuatu bukan karena Allah, tapi juga meningalkan sesuatu bukan karena Allah itu juga riya’. Gitu aja dulu ya tong, lapar ini gara-gara warung padang tadi. See you again Otong !
Oleh: IMMawan Aan Ardianto

Selasa, 04 April 2017

Bahagia Itu Dekat Dengan Kita

Tulisan ini adalah tulisan sederhana yang harapannya dapat membantu kita semua dalam memaknai kehidupan untuk mendapatkan sebuah kebahagiaan. Manusia yang ada didalam hiruk-pikuk dunia yang ditinggalinya sering merasakan kekosongan terhadap kehidupan yang dijalaninya. Dunia yang modern ini menghadirkan berbagai macam kemajuan bagi umat manusia. Namun, tidak jarang manusia merasakan kehampaan dari segala hal tersebut. Jepang sebagai salah satu Negara maju di dunia dengan salah satu pendapatan perkapita yang juga tertinggi di dunia justru memiliki angka bunuh diri tertinggi di dunia. Padahal ini justru dirasa kurang relevan ketika masyarakat Jepang hidup berkecukupan dan memiliki kemajuan dalam berbagai hal.
            Banyak orang yang bercita-cita menjadi kaya raya dan sukses dalam segala hal. Ketika segala hal tersebut tercapai kebahagiaan belum juga dimilikinya. Bahkan banyak fenomena orang-orang miskin justru lebih bahagia dibandingkan orang-orang kaya. Kenapa hal ini terjadi ? Hal ini dikarenakan manusia hari ini cendrung materialistik. Orientasi hidup manusia hanyalah hal-hal yang bersifat materi, padahal materi hanyalah salah satu jalan untuk mencapai kebahagiaan tersebut. Dengan kata lain kaya dan sukses hanyalah salah satu jalan bagi manusia dalam mencapai kebahagiaan. Sehingga cita-cita manusia yang sejati adalah menjadi orang yang bahagia.
            Ary Ginanjar dalam sebuah videonya menjelaskan manusia perlu modal dalam mencapai kesukesan. Disini penulis akan melakukan reorientasi yang awalnya kesuksesan menjadi kebahagiaan. Ketika berbicara modal manusia sering mengaitkan dengan hal-hal yang bersifat materi misalnya, uang. Memang uang juga dapat dikatakan sebagai modal, namun tidak dapat dikatakan sebagai modal yang memiliki pengaruh besar dalam mencapai tujuannya tersebut. Setidaknya ada 3 modal utama yang membantu manusia mencapai kebahagiaannya. Pertama IQ, modal ini adalah hal yang berkaitan dengan kecerdasan intelegensi manusia yang biasanya diukur dengan indeks prestasi. Dengan kecerdasan intelegensi manusia dapat melakukan modernisasi teknologi, membentuk tatanan kehidupan, membuat sistem hukum dan sebagainya. Kedua EQ, yaitu kecerdasan emosional. Dengan kecerdasan intelegensi mungkin manusia dapat sukses menjadi seorang pengacara hukum. Namun, tanpa adanya kecerdasan emosional, menjadi pengacara hukum manusia tidak lagi mempertimbangkan mana yang perlu dibela atas nama keadilan. Dengan adanya kecerdasan emosional inilah manusia dapat melakukan tindakan yang sekiranya sesuai dengan nurani. Ketiga SQ, yang ketiga inilah hal yang paling utama bagi manusia dalam mencapai kebahagiaan. Dengan adanya IQ dan EQ mungkin sudah dapat melakukan tindakan yang ideal. Namun, ketika dia tidak memiliki kecerdasan spiritual dalam dirinya yang terjadi adalah kehampaan atas segala yang dilakukannya. Tanpa adanya kecerdasan spiritual manusia tidak akan memahami untuk apa dia sukses, untuk apa dia kaya dan untuk apa dia hidup.  Padahal nilai dari segala sesuatu yang ada di dunia ini tergantung pemaknaan kita terhadapnya. Sebagai contoh, air pasti akan lebih berarti dibandingkan uang yang banyak bagi seseorang yang terjebak ditengah gurun pasir. Namun, orang yang tidak mampu memaknai arti hidup dan selalu berorientasi pada materi justru lebih memilih uang dibandingkan air yang lebih bernilai pada kondisinya saat itu.
            Dalam mencari kebahagiaan,terdapat dua jalan, yaitu sulit dan mudah. Sayangnya manusia justru lebih suka mencari jalan yang sulit dibandingkan yang mudah. Sebagaimana apa yang dikatakan Goerge Bernard Shaw, “manusia tidak kuat mencari jalan bahagia atau tidak kuat menyingkir dari jalan sengsara”. Sebagai makhluk yang memiliki nafsu, manusia cendrung tidak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Misalnya, ketika memiliki sepeda maka ia menginginkan motor, setelah motor ia menginginkan mobil dan seterusnya. Dengan hal seperti ini niscaya kebahagiaan tidak akan pernah tercapai. Hal ini bukan berarti penulis bermaksud membatasi impian pembaca, namun ketika impian tersebut tidak tercapai maka bisa jadi ada rencana lebih besar yang disiapkan oleh Allah kepada kita. Sehingga ketika kegagalan terjadi bukan menjadi sumber ketidakbahagiaan.
Disamping jalan yang sulit, ada jalan yang mudah menuju kebahagiaan, jalan itu ialah agama. Menurut ahli syair, Hutai’ah, bahagia itu adalah taqwa kepada Allah. Namun meskipun mudah tentulah tetap ada rintangannya. Seorang ibu yang mengandung selama 9 bulan dan melahirkan tentu mengalami sakit dan penderitaan. Namun, sakit dan derita tersebut seketika hilang ketika anaknya dilahirkan. Sehingga dapatlah dikatakan sakit, derita dan sengsara juga merupakan salah tangga mencapai kebahagiaan. Dengan bertaqwa berarti kita melakukan segala perintah dan menjauhi segala larangan-Nya. Salah satu perintah Allah adalah selalu bersyukur terhadap nikmat yang diberikannya. Syukur inilah yang menjadi kunci bahagia, bahwasanya bahagia itu dekat dengan kita dan bahagia itu ada dalam diri kita. Rasulullah SAW bersabda, “Jika petang dan pagi seorang manusia telah mendapatkan rasa aman dan sentosa dari gangguan manusia, itulah dia orang yang bahagia”. Sesederhana itulah bahagia, namun sayangnya manusia sering melupakan nikmat yang didapatkannya. Ketika mengalami musibah, tidak jarang manusia langsung berkesimpulan dirinya mengalami kesialan. Hanya dengan sebuah musibah kecil pada suatu hari manusia dapat mengeneralisir harinya tersebut dengan sebuah kata ‘sial’. Sebagai contoh kecil, suatu hari seseorang mengalami bocor ban dalam berkendara, maka dia langsung menyimpulkan bahwa dia mengalami hari yang sial. Dirinya tidak menyadari berapa besar nikmat yang dimilikinya mulai bangun tidur, dia masih diberikan kesempatan merasakan dunia, bernafas, berkendara dan banyak lagi nikmat lainnya. Namun, dia berkesimpulan harinya sial hanya karena mengalami bocor ban pada saat berkendara. Padahal bisa saja ketika tidak terjadi bocor ban justru musibah lebih besar yang akan menimpanya. Allah berfirman, “Bisa jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan bisa saja kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui” (QS. Al-Baqarah : 216).

Selalu ada hikmah yang terkandung dalam setiap kejadian yang kita alami. Bersyukur terhadap segala kejadian tersebutlah yang menjadi sebuah kunci kebahagiaan bagi manusia. Tanpa rasa syukur kepada nikmat Allah manusia tidak akan pernah mencapai kepuasaan dalam dirinya. Rasa puas ini bisa didapatkan ketika manusia mampu memaknai setiap kejadian yang dialaminya dengan kecerdasan spiritual yang didapatkan melalui iman yang diimplementasikan dengan taqwa. Setelah mampu memaknai setiap kejadian maka kita akan selalu bersyukur kepada Allah dan ketika kita bersyukur insya Allah bahagia itu akan dekat dengan kita, dalam diri kita.
Oleh: IMMawan Muammar Rafsanjani 

Selasa, 21 Maret 2017

Terjebaknya Masyarakat Kedalam Ruang Hiperealitas



Oleh:
IMMawan Muammar Rafsanjani
PK FAI UMY


Terjebaknya Masyarakat Kedalam Ruang Hiperealitas

Dewasa ini dalam arus globalisasi yang sangat deras banyak sekali memberikan dampak yang begitu besar kepada masyarakat, baik yang positif maupun. Apabila kita perhatikan dengan teliti, globalisasi ini menghadirkan begitu banyak komoditas kepada masyarakat global. Banyaknya komoditas ini kemudian menjadi sebuah hutan belantara komoditas yang mengelilingi masyarakat secara global. Hal ini tentu tidak lepas dengan wacana kapitalisme global yang menghadirkan berbagai macam komoditas tersebut kepada masyarakat. Apapun dapat dijadikan komoditas, mulai dari tontonan, makanan, pusat perbelanjaan, pusat hiburan, produk kecantikan dan sebagainya. Bahkan sampai kepada hal yang tidak terduga, manusia dan agamapun dijadikan sebagai sebuah komoditas yang diperjual-belikan. Sebagai contoh instagram @jrsugianto (Tatan) atau acara-acara televisi di bulan Ramadhan.
Masyarakat yang dikelilingi hutan belantara komoditas ini kemudian cendrung tidak lagi mencari realitas sejati melainkan realitas yang semu. Atau lebih tepatnya masyarakat dewasa ini terjebak kedalam sebuah ruang hiperealitas. Dimana  pada ruang hiperealitas tersebut terjadi transparansi sekat pemisah antara yang asli dan palsu, benar dan salah, nyata dan fantasi. Sehingga masyarakat tidak mampu lagi untuk membedakan antara yang asli dan palsu, benar dan salah, nyata dan fantasi.
Berbagai macam komoditas yang hadir mencoba menawarkan kesenangan kepada masyarakat. Pertandingan sepak bola di televisi misalnya, tontonan ini dapat membius jutaan masyarakat dalam skala global. Atau produk industri seperti iphone, kendaraan dan teknologi lainnya yang juga menawarkan kesenangan kepada masyarakat yang mampu memilikinya. Hal-hal semacam ini hanya akan menenggelamkan masyarakat kedalam keadaan ekstasi yang berupa kesenangan atau kebahagiaan semu. Masyarakat mencoba mencari hiburan atau tontonan untuk sejenak melupakan hiruk-pikuk dunia yang ditinggalinya dengan mencoba menonton pertandingan sepak bola di televisi, namun kesenangan ini adalah kesenangan semu yang setidaknya hanya berlangsung kurang lebih 2 jam. Masyarakat menginginkan produk-produk industri yang dipasarkan melalui media massa yang sebenarnya bukan kebutuhannya, namun hanya sebatas untuk memperoleh kesenangan. Namun, produk-produk ini di produksi secara massif dalam kecepatan yang begitu cepat yang bahkan melampaui batas-batas budaya. Yang terjadi adalah industri ini selalu menghadirkan versi terbaru produk-produk sehingga masyarakat tidak pernah merasa puas dengan apa yang dimilikinya.
Jean Baudrillard dalam wacana simulasinya menjelaskan bahwasanya terdapat sebuah ruang realitas dalam kehidupan sosial masyarakat. Dalam ruang realitas tersebut terjadi dekonstruksi representasi yang kemudian mencoba menkonstruksi sebuah realitas baru tanpa asal usul realitas yang jelas dalam kehidupan sosial masyarakat. Kita analogikan pada sebuah peta, peta merupakan representasi dari sebuah wilayah territorial yang berarti ada wilayah territorial dulu baru kemudian direpresentasikan dengan peta. Namun, pada hiperealitas justru peta dulu baru wilayah territorial. Dan fenomena yang terjadi hari ini, acara sinetron di televisi justru lebih ampuh dalam membentuk karakter anak dibandingkan mata pelajaran akhlak disekolah. Penggambaran tokoh pada film justru lebih ampuh membentuk kepribadian seseorang dibandingkan filsafat.
Sebagaimana salah satu fungsi dari komunikasi massa yaitu, influence. Maka ,menggunakan media massa dalam mendifusikan realitas semu ini cukup ampuh untuk mempengaruhi khalayaknya agar terjebak kedalam ruang hiperealitas. Dalam penyebarannya tersebut biasanya mengandung budaya bujuk rayu. Dalam budaya bujuk rayu ini apapun dibenarkan, yang palsu dianggap asli, yang fantasi dianggap nyata. Sebagaimana sebentuk wajah penuh make up, maka yang ditampilkan adalah sebuah wajah yang mencoba menarik perhatian dan kepalsuan semata. Maka, dalam budaya bujuk rayu yang ditampilkan adalah ketertarikan, kepalsuan dan kesemuan. Bukan lagi realitas yang sejati. Dengan demikian, maka masyarakat yang terjebak kedalam ruang hiperealitas ini tidak akan pernah menemukan kebahagiaan yang sejati.
Untuk itu, maka sudah selayaknya kita bersikap kritis terhadap apapun yang kita terima pada era globalisasi pada saat ini. Perlu adanya filterisasi terhadap dampak dari globalisasi tersebut sehingga kita mampu menyaring apa saja dampak positif yang dapat diambil dan dampak negatif yang perlu untuk ditinggalkan.

Selasa, 08 November 2016

IMMawati Pejuang Tangguh



Bantul, 9 oktober 2016 sebuah perkumpulan kecil yang dibentuk karena persatuan organisasi Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Fakultas Agama Islam UMY, yang belom lama ini mengadakan rapat kerja yang didalamnya membahas rancangan bagaimana proses jalan kedepan. Kita berjalan bersama bukan hanya untuk melaksanakan program – program kerja yang ada di internal, akan tetapi bagaimana bisa kita membuat perubahan yang mendasar dalam rumah kita sendiri yang tidak lupa juga melihat lingkungan sekitar. 

Deras nya hujan di malam hari tidak menjadi alasan untuk Immawati bergerak. Rintikan air hujan yang tak kunjung reda malam itu memberikan kita pelajaran untuk mensyukuri nikmat Allah yang masih diberikan kepada kita. Malam ini,  kami berkunjung ke rumah salah satu wanita hebat yang merupakan demisioner IMM Komisariat Ekonomi pada tahun itu yang juga sekarang merupakan aktivis atau penggiat muda ini, mempunyai semangat yang luar biasa dan sangat berpengaruh untuk orang disekitar. Saat ini beliau masih menjadi penggiat di PW NA DIY dan berumah tangga di daerah kalipakis, Tirtonirmolo Kasihan Bantul. Wanita yang ramah dan mempunyai jiwa Ibu yang sosialis ini membuat kami terpana dan memotivasi kita untuk menjadi wanita yang tidak hanya biasa, akan tetapi menjadi wanita yang luar biasa. Panggil saya saja “Mbak Diah dek, biar lebih akrab” Katanya. Perbincangan malam itu tidak luput dari curhatan-curhatan wanita pada era globalisasi saat ini, dari personality, organisasi, dan hal lain yang mencakup dalam jati diri immawati. 

Kegiatan malam ini kita adakan tidak hanya sekedar bersilaturrahmi saja, akan tetapi untuk bertukar pikiran meminta pendapat saran dan masukan dari Mbak Diah. Perbincangan yang cuma sekilas, selama tiga jam itu membuat kami semua me-refresh kembali otak dan pikiran. Tidak ada hal yang sia-sia kalo dikerjakan dengan niat lillah. Banyak point yang harus kami ambil dalam perbincangan malam itu. Ada sekitar 10 immawati yang masih bergelut berjuang dalam heningnya malam dan di selingi dengan semilir angin sepoi-sepoi pinggir sawah rumah Mbak Diah. Dalam keadaan kami belom makan, seperti dalam QS Al- Maidah :   yang artinya “ maka nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan?” secuil jadah tempe,teh hangat,onde-onde, aneka makanan pada zaman itu membuat kita bersemangat lagi untuk berbincang. Ah udah lah banyak sekali basa-basi disini. 

Nah, santai aja ya bahsaanya disini? Biar tidak hanya sekedar masuk telinga kanan keluar telinga kiri kami ingin membagikan ilmu yang sudah kami dapatkan waktu itu. Mulai dari mana ya? 

Langsung saja, kita berdiri sekarang ini sudahkah bisa disebut dengan aktivis? Tidak. Kita bahasakan saja kalau kita ini penggiat. Katanya malam hari itu. Jika kita di hadapkan dengan berbagai macam linier kehidupan, yang jikalau sekililing kita masyarakat  luar, berada di zona manakah kita? Ya tentu kita berada di zona luar karena zona luar merupakan zona dimana kita bergerak aktif dalam menghadapi segala tantangan. Bukan malah zona dalam dimana zona kita berada di daerah nyaman. Kata siapa perempuan khususnya Immawati hanya ruang lingkup dapur, kasur, sumur? Bukan kah wanita sekarang yang seharusnya maju terdepan dan tidak berada stagnan mas itu. Inti dari apa yang disampaikan Mbak Diah pada malam itu ialah, gunakan waktu usia mudamu sebaik mungkin, iuti segala aktifitas yang menyangkut dengan apa yang ada pada potensi dirimu dengan mengenali dahulu siapa dirimu sesungguhnya, lalu tunjukka pada dunia bahwa wanita yang seperti apa yg mereka harapkan wahai kaum adam? – red immawati.